Saya sering membaca tentang anak-anak Jakarta masa kini yang lebih dekat dengan “mbak” (pembantu atau pengasuh/baby sitter) daripada dengan orang tuanya. Bahkan beberapa saat lalu saya ikut menyimak perdebatan status seseorang di social media yang dianggap menilai buruk ibu karir.
Pertama-tama, saya termasuk golongan yang tidak setuju kalau ibu karir dianggap menelantarkan keluarga, dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Setiap keluarga memiliki situasi dan kondisi yang berbeda, pun seorang ibu akan berupaya keras menunjukkan kasih sayangnya apapun pilihannya: ibu karir atau ibu rumah tangga.
Ibu saya adalah seorang ibu karir. Beliau sebagai single parent berjuang keras menghidupi dan menyekolahkan kami, memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Saya tidak bisa membayangkan kalau ibu saya “dipaksa” menjadi ibu rumah tangga karena (misalnya) kultur tertentu; saya dan saudara-saudara saya bisa tidak makan tidak sekolah.
Tapi kemudian apakah kami ditelantarkan? Jawabannya: tidak sama sekali. Di tengah kesibukan ibu saya mengajar (beliau guru), menambah penghasilan dari praktikum, sampai akhirnya nyambi berdagang melanjutkan usaha almarhumah nenek; kami bertiga bersaudara tetap mendapatkan kasih sayang yang luar biasa banyaknya. Salah satu buktinya? Kakak saya rela meninggalkan pekerjaan mapannya di Jakarta untuk menemani ibu saya di Solo. Saya rutin pulang ke rumah tiap tiga bulan. Adik saya yang kuliah di luar kota, selalu pulang ke rumah tiap akhir minggu. Kalau ibu kami tidak mencurahkan kasih sayang sebanyak lautan pada kami, tentu kami tidak akan sesayang itu kan.
Apakah kami punya mbak? Ya, kami punya. Bahkan ketika nenek saya meninggal, kami “mewarisi” tiga orang mbak yang siap sedia mengurus semua keperluan kami. Tapi ibu tidak mengurangi porsi interaksinya dengan kami dan kami juga tetap sayang pada ibu.
Melihat Anak Mbak
Kembali ke pembahasan anak mbak tadi. Kejadian ini saya lihat minggu lalu ketika saya pergi ke gereja. Alkisah seorang anak diajak ibunya untuk duduk berdekatan dengannya, si anak menjawab, “Nggak mau. Aku mau sama mbak aja.” Doengg, kepala saya seperti terpukul lonceng. Okelah, mungkin karena tadi si anak digendong oleh si mbak, sekarang dia tidak mau turun.
Beberapa menit kemudian -keluarga ini duduk di depan saya, si anak sudah duduk sendiri. Kemudian si ibu di salah satu bagian ibadat yang harus berdiri, mengajak anak itu berdiri, juga menawarkan apakah si anak mau digendong supaya bisa melihat bagian depan. Si anak menjawab, “Aku mau digendong mbak aja, berdiri sama mbak.” Doengg lagi kepala saya berbunyi.
Satu jam ke depan, banyak interaksi yang coba ditawarkan si ibu pada anaknya. Tetapi si anak memilih melakukannya bersama si mbak. Mungkin karena gregetan, akhirnya si nenek turun tangan membujuk si cucu dan anak kecil tadi mau. Sejauh yang saya tahu, seorang nenek biasanya lebih bisa mengolah interaksi dengan anak kecil karena ia sudah melewati fase asam garam berinteraksi dengan anak kecil.
Apakah si ibu jarang berinteraksi dengan anaknya sehingga si anak malas bersama ibu? Saya tidak menanyakannya. Yang pasti, ibu dan anak tadi memiliki masalah interaksi yang harus segera diselesaikan.
Belajar dari Para Ibu di Kantor
Di kantor saya, tentu banyak sekali ibu (dan bapak) karir -kalau tidak ibu karir, tentu tidak ada di kantor saya. Mereka adalah contoh orang-orang yang bisa membagi waktunya antara pekerjaan dan keluarga. Mereka berupaya membagi waktu supaya tetap bisa bersama keluarga.
Saya ambil contoh seorang ibu yang posisinya sudah lumayan tokcer. Ia tahu bahwa dengan kemacetan Jakarta, ia tidak akan sempat bertemu dengan anak-anaknya di malam hari. Tapi jam kantor kami memungkinkan ia datang di atas pukul 09.30. Sedangkan si suami kebalikannya, harus masuk pagi dan bisa pulang tepat jam 16.00. Maka ia dan suaminya membagi tugas; si istri “bertugas” menemani anak-anak di pagi hari, dari membangunkan, sarapan, sampai mengantar ke sekolah. Di sore hari, maka si suami yang akan menemani anak-anak bermain dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Weekend? Sepenuhnya tidak bisa diganggu.
Lain lagi dengan seorang bapak yang istrinya bekerja sebagai guru les. Memang, anak bapak tadi akan selalu ditemani oleh si ibu. Akan tetapi, si bapak juga tidak mau memiliki gap dengan anak-anaknya, tidak dirindukan oleh mereka. Dengan kesibukan si bapak yang luar biasa, ia selalu menyempatkan diri mengantar anaknya berangkat sekolah. Meski hal itu membuatnya berangkat sangat pagi ke kantor (jam sekolah dimulai 06.30, jam kantor 09.30), namun mengantar anak ke sekolah memberinya kesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anak. Di malam hari, meski ia jarang sekali bisa menemani anak-anak belajar, ia selalu memastikan diri tiba di rumah sebelum anak-anak tidur, supaya ia masih bisa bercengkerama dengan mereka.
Epilog
Banyak hal bisa dilakukan seorang ibu karir untuk tetap mencurahkan kasih sayangnya pada anak-anak. Hal tersebut tidak perlu digugat atau diperdebatkan. Di lain sisi, masih banyak pula ibu karir yang berjarak dengan anak-anaknya. Pada kondisi ini, alih-alih berdebat, akan lebih baik kalau kita memberi saran mengelola waktu -bukan saran untuk resign. Toh sesibuk apapun orang tua kita, kita sendiri tahu dan mengalaminya, mereka amat sayang pada kita.