Membaca beberapa artikel di internet mengenai cara survive di Jakarta, juga bagaimana saat masih muda harus banyak menabung, saya jadi kepingin menulis sesuatu mengenai ngekos.
Sejak SMA, saya sudah tidak tinggal bersama orang tua. Pada saat itu saya masuk ke sekolah berasrama. Di kala kuliah, saya ngekos karena kampus saya berlain provinsi dengan rumah. Saat itu yang ada di pikiran saya ketika memilih kos adalah saya tidak mau berpindah-pindah kos. Saya harus menetapkan hati untuk tinggal di sebuah kos, layaknya saya menetapkan hati selama tiga tahun tinggal di sebuah sekolah asrama atau empat tahun berkuliah di provinsi lain. Jadi ketika memilih kos, saya harus memikirkan matang-matang. Kalau hati tidak sreg, lebih baik saya tidak ngekos.
Kos di Jogja (2007)
Pertama kali saya merasakan ngekos, saya memilih menumpang kos di rumah seorang teman. Berhubung saat itu saya masih awam dengan daerah seputaran UGM, kampus saya, maka ketika ada teman yang menawarkan, tentulah saya dengan senang hati mengambilnya. Toh saya masih memiliki waktu dua bulan sebelum perkuliahan dimulai –saat itu masih masa daftar ulang dan sebagainya, sehingga masih ada dua bulan untuk mencari kos yang benar-benar saya ingini (atau menetap di tempat teman saya ini kalau memang nyaman).
Berkeliling mencari kos, bisa dikatakan susah-susah gampang. Berhubung saya sudah cukup merepotkan orang tua untuk membiayai saya selama SMA dan uang masuk kuliah, saya tidak mau mencari kos yang mahal-mahal. Apalagi di Yogyakarta, tanpa AC juga suasananya masih dingin. Teman satu kos juga dipastikan semuanya supel dan menyenangkan karena isinya perantau yang memang ingin merasakan kedamaian Yogyakarta.
Betah Sampai Lulus
Maka ketika berputar ke sana ke mari selama dua minggu, belum ada kos yang membuat saya mantap tinggal di sana. Hingga ketika di sebuah pertigaan, saya merasa kalau saya belum berbelok melewati jalan ini. Ketika saya berbelok, saya bertemu dengan seorang nenek. Saya pun bertanya padanya apakah ada kos laki-laki di dekat situ dan ternyata si nenek memiliki kos-kosan. Tiba di rumah nenek itu, kompleks rumahnya sangat menyenangkan.
Dalam satu kompleks nan hijau dan asri di Karanggayam itu, terdapat tiga rumah: miliknya dan dua rumah anaknya. Si nenek tinggal bersama suami dan anak ketiganya. Kos-kosan yang disewakan menempel dengan rumah si nenek, ada di sebelah kanan terpisah dari ruang-ruang utama. Hanya ada tiga kamar di sana dan dua di antaranya sudah terisi meski belum ditinggali. Maka saya mendapatkan kamar paling depan, paling dekat dengan pintu.
Beyond Ngekos
Tinggal di situ, bulan berlalu, tahun berlalu; nenek-kakek-anak semuanya luar biasa. Mereka benar-benar orang baik yang menganggap kami-kami ini sebagai anak/cucunya. Apabila kami sedang berada di kos pada sore hari, si nenek pasti akan membuatkan teh hangat dan cemilan ringan. Teman-teman kos saya juga menyenangkan. Si penghuni kamar tengah berganti di tahun kedua saya ngekos, penghuninya pun tetap menyenangkan. Tarif ngekos sebulan? Hanya Rp 200 ribu. Nikmatnya kos saya dengan harga murah, banyak membuat teman-teman iri dan meminta saya menghubungi mereka ketika saya akan pindah kos –yang tidak terjadi hingga saya lulus.
Saya ngekos di tempat itu selama 3.5 tahun atau sejak awal masuk kuliah hingga akhirnya lulus dari UGM. Sejak anak ketiga si pemilik rumah masih bekerja, hingga menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Sejak salah satu cucu si kakek-nenek kuliah, hingga si cucu ini menikah dan punya anak. Sejak kakek-nenek ini sehat dan mengajak saya menonton televisi di ruang tengah, hingga akhirnya si kakek dipanggil Yang Maha Kuasa.
Mulai Ngekos di Jakarta (Awal 2011)
Setelah lulus, sebelum wisuda, saya memutuskan untuk mencari kerja di Jakarta. Sebulan mencari kerja, saya dihadapkan pada dua pilihan: menjadi MT di sebuah bank BUMN atau menjadi anak magang di sebuah lembaga konsultan politik. Fasilitas dan gaji keduanya tentu jauh berbeda. Entah mengapa, saya memilih sekedar menjadi anak magang di konsultan tadi. Mungkin karena saya berlatar belakang politik dan belum 100% mantap hatinya menjadi karyawan kantor. Menjadi anak magang, saya hanya mendapatkan gaji setara UMR Jakarta pada waktu itu. Maka pusinglah saya mencari kos-kosan yang tidak memberatkan pemasukan-pengeluaran saya. Ya untunglah saya masih ada pemasukan sampingan dari bisnis kecil-kecilan.
Mencari ke beberapa tempat, harga kos di Jakarta memang luar biasa. Untuk yang non-AC saja, rata-rata kos di daerah strategis macam Setiabudi harganya minimal Rp700 ribu. Selain cukup berat dengan gaji saya sekarang, juga karena saya masih shock membandingkan harga itu dengan harga saat saya kos di Jogja tadi.
Beruntung, saya menemukan sebuah kos di Setiabudi dengan harga Rp400 ribu sebulan. Memang bangunannya cukup tua. Tapi kos ini bersih, kamar mandi juga kinclong. Saya pun ngekos di situ selama saya menjadi anak magang, hanya sebentar, dua bulan.
Wisuda dan Kembali ke Jakarta (Akhir 2011)
Setelah dua bulan magang, saya pun kembali ke Solo / Jogja untuk mengurus wisuda saya. Berhubung ternyata perlu waktu sekitar satu bulan untuk mengurus beragam hal terkait wisuda, maka saya memutuskan sekalian boyongan pulang sembari mencari pekerjaan tetap. Sebulan pasca wisuda, saya diterima di sebuah perusahaan konsultan marketing di Jakarta.
Berhubung saya (merasa) sudah cukup tahu daerah Jakarta, maka saya berangkat ke Jakarta H-2 sebelum masuk kerja. Masuk kerja pertama di hari Senin, saya baru berangkat ke Jakarta pada Jumat malam dan menyewa kamar hotel untuk Sabtu malam. Saya hanya punya waktu satu hari untuk mencari kos.
Ternyata sangat sulit mencari kos-kosan di daerah Karet Pedurenan ini. Sederetan kos di jalan ini berisi kos AC mewah dengan tarif Rp2,5 juta ke atas, sangat tidak sebanding dengan gaji saya. Lagi-lagi secara kebetulan, saya masuk ke sebuah jalan yang belum saya lewati setelah sesiangan berputar mencari kos. Lokasinya hanya 30 meter dari kantor saya. Tempatnya ternyata bersih, tarifnya pun hanya Rp700 ribu sebulan. Memang saya mendapat kamar dengan akses teras, sedikit khawatir dimasuki maling karena terlihat dari gerbang luar. Tapi tak apalah, selama gerbang itu selalu terkunci dan kamar saya juga terkunci saat saya tidak di kamar.
Saya terus tinggal di kos ini sejak saya bekerja di konsultan marketing, hingga saya memutuskan mengundurkan diri, selama lima bulan.
Berpindah Kantor dan Kos (Perbatasan 2011 – 2012)
Akhirnya saya berpindah kantor dan mengharuskan pula untuk berpindah kos. Kali ini saya kembali lagi ke Setiabudi yang memang bersih, banyak makanan, dan mudah akses transportasinya itu. Kembali saya berkeliling, akhirnya saya menemukan sebuah rumah yang beberapa kamarnya disewakan untuk kos. Kamar-kamar itu disewakan karena bapak-ibu pemilik rumah sebelumnya memiliki lima anak dan semuanya sudah bekerja serta pindah ke rumah masing-masing. Maka selain untuk mendapatkan pemasukan tambahan, juga untuk membuat suasana rumah menjadi ramai. Kebetulan, salah satu anak mereka pernah berkuliah di Solo, sehingga sangat terbuka menerima saya yang berasal dari Solo ini. Saya mendapatkan sebuah kamar yang besar dan bersih dengan Rp700 ribu per bulan. Saat itu, harga kos lain sudah sekitar Rp900 ribuan per bulan.
Seperti Keluarga Sendiri
Bapak-ibu ini menganggap para penghuni kos seperti anaknya sendiri. Saat melihat kami sedang tidak melakukan apa-apa, mereka mengajak kami ngobrol membicarakan ini itu. Ketika merayakan sesuatu, mereka mengajak kami ikut menikmati masakan yang mereka buat.
Tapi kali ini, saya memantapkan hati bahwa saya harus bisa tidak kos lagi dalam waktu tiga tahun karena sebenarnya uang yang saya gunakan untuk kos, bisa saya gunakan untuk menyicil rumah atau apartemen. Maka sembari ngekos, saya pun mencari-cari informasi mengenai pembangunan rumah atau apartemen yang sesuai dengan kantong saya.
Ternyata cita-cita saya kesampaian, di bulan pertama ngekos, saya langsung menemukan sebuah apartemen yang tampaknya pas untuk ditinggali. Tapi, saya memiliki waktu tunggu selama satu tahun sebelum bisa menghuninya –karena memang belum jadi. Pas menurut saya, kos selama setahun kemudian pindah menghuni apartemen. Maka setahun kemudian, saya berpamitan dengan si bapak-ibu pemilik.
Tinggal di Apartemen dan Kembali Ngekos (2012 – 2013)
Akhirnya saya tinggal di apartemen. Namun karena beberapa hal, saya kemudian memutuskan menjual apartemen saya. Awalnya saya berpikir, apartemen membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk laku terjual sehingga saya bisa mencari kos yang nyaman di Setiabudi –atau kembali ke kos saya yang lama. Tapi ternyata, apartemen laku terjual dalam dua minggu dan sesuai dengan perjanjian jual-beli, saya punya waktu satu bulan untuk segera pindah dari sana.
Sama seperti saat kos di Jogja untuk pertama kali; karena darurat, saya memutuskan kos di tempat yang saya kenal, kebetulan adalah om/tante seorang teman di Bendungan Hilir. Di sana saya hanya tinggal selama satu bulan, setelah saya menemukan sebuah kos di daerah Setiabudi.
Kembali ke Setiabudi
Kembali kos di Setiabudi, sebenarnya saya mencoba kembali ke kos lama karena saya sudah merasa sangat nyaman di sana kala itu. Namun sayangnya, kos lama saya penuh hingga entah kapan. Tapi di kos baru ini, meskipun ramai banyak kamar, saya merasa senang. Penunggu dan para tetangga kos baik hati, menjaga kebersihan, dan ramah. Harga kos sekitar Rp900 ribu per bulan, masih di bawah rata-rata kos sejenis yang mencapai Rp1 jutaan. Harga kos AC? Minimal seharga Rp1,6 juta untuk perempuan dan Rp1,9 juta untuk laki-laki.
Maka tinggallah saya di kos sekarang ini sejak November 2013 atau sekitar 1,5 tahun hingga saya pindah bulan depan, menempati rumah baru.
Kenyamanan sebagai Koentji
Jadi prinsip saya ngekos, saya tidak akan berpindah-pindah kos hanya sekedar karena tidak nyaman di kos. Kos adalah “rumah” saya juga. Sejak awal mencari, kita harus memantapkan hati untuk tinggal di sana. Juga kalau ngekos di tempat yang sama dalam waktu lama, beberapa diskon atau tambahan layanan gratis, bisa kita dapatkan –trust me. Seperti di kos saya saat ini, ketika penghuni lain hanya mendapat jatah cuci pakaian 4 potong sehari, semua pakaian saya (5-6 potong) dicucikan semuanya. Saat perbaikan dalam kamar dikenakan biaya, khusus saya, nol biayanya. Loyalitas berbuah manis, tidak hanya ada di dunia kerja lho.
Kosan saya sejak dulu juga tidak pernah ber-AC. Bukan karena tidak tahan AC, tapi semata karena kos non-AC harganya jauh lebih murah daripada yang ber-AC, sering hanya sepertiganya. Kalau hanya soal hawa panas, bisa disiasati dengan memilih kamar kos yang memiliki akses langsung ke udara luar, kurangi jumlah barang di dalam kamar, pastikan lantai kos bebahan dingin (keramik atau panel kayu), plus tambahkan kipas angin. Dijamin, sudah sedingin kalau kita menggunakan AC. Sisa gaji atau pemasukan kita, lebih baik ditabung untuk uang muka rumah atau apartemen, menjadi sesuatu hal yang menjadi milik kita sendiri.