Setahun terakhir, semenjak saya mulai menggunakan ojek online untuk mayoritas mobilitas, saya cenderung tidak lagi banyak mengamati interaksi masyarakat dan mendapatkan cerita darinya. Memang dari tukang ojek online, saya sering bertukar cerita dan mendapatkan hal baru. Namun dalam artian mengamati secara langsung sebuah interaksi atau mendapatkan cerita langsung dari obyek pengamatan, tidak lagi saya rasakan.
Bertemu Seorang Ibu Tua
Pagi itu, saya sengaja tidak masuk kantor dan memilih melakukan beberapa kegiatan pribadi. Dari voluntary counselling and testing (VCT), menjenguk teman, hingga bepergian menggunakan Jakarta commuterline mengisi satu hari saya. Satu cerita yang sangat menarik, sebagai hasil obrolan dengan seorang ibu tua, saya dapat dari seharian menjelajah Jakarta-Depok-Bogor menggunakan kendaraan umum.
Ibu yang saya temui tadi, bekerja menjual tisu lima ribuan di depan pintu Stasiun Universitas Indonesia (UI). Beliau bercerita bagaimana harus ikut menghidupi keempat cucunya karena ayah mereka, alias anak laki-laki si ibu, meninggal terkena asma. Si menantu, sayangnya, masih tidak sanggup membiayai mereka semua secara mandiri.
Stasiun UI dipilih karena menurut si ibu, trafik penumpangnya lebih ramai dan orang-orang cenderung lebih mau membeli. Dari tiap tisu terjual, ia mendapatkan bagian seribu perak. Si ibu bercerita, apabila dalam sehari ia mampu menjual semua 50 tisu yang ia ambil dari pemodal, maka ia akan mendapatkan tambahan Rp15.000. Stasiun UI biasanya mampu memberikan rezeki Rp50.000 sehari plus Rp15.000 bagi si ibu, hasil berjualan sejak pukul 6 pagi hingga 6 sore.
Keadilan yang Terlupakan
Khusus hari ini, si ibu pulang mendahului pukul 11 siang karena harus menemani cucunya yang sedang sakit, bergantian dengan si menantu yang harus masuk kerja. Beruntung, beliau berhasil menjual 40 tisu hanya dalam waktu 4 jam. Di dalam kereta, saya dan seorang wanita di sebelah ibu tadi, masing-masing membeli dua tisu dari si ibu. Semoga setidaknya saat si ibu turun di Stasiun Citayam, beliau mampu menjual sisa enamya. Saya dan wanita tadi membeli tisu secara sembunyi-sembunyi supaya tidak terlihat oleh petugas keamanan kereta. Memang secara aturan, tidak boleh ada pedagang menjajakan barang di dalam kereta. Tindakan kami membeli, meski si ibu tidak berniat menjualnya, bisa berakibat buruk pada si ibu yang dikira menjajakan barang.
Ibu tadi pun bercerita bagaimana beliau dulu mampu mendapatkan hasil lumayan saat pedagang kecil dan pedagang kaki lima (PKL) masih bebas berjualan di wilayah stasiun dan di dalam gerbong ekonomi. Saat ini, berjualan di luar area stasiun pun sering masih diminta pergi oleh petugas karena menimbulkan keruwetan dan kekotoran serta mengganggu pandangan.
Otak Kelas Menengah dan Millenial
Mendadak otak saya terbelah ketika mendengarkan kondisi ini. Di satu sisi, otak saya menyuruh tubuh saya bertindak sebagai kelas menengah. Otak saya memerintahkan saya mendukung serta menyanjung perbaikan sarana dan layanan commuterline. Saya masih sempat merasakan stasiun yang kumuh dan semua orang bisa masuk. Otak saya ini membencinya: naik kereta ekonomi non-AC yang gelap dengan pintu terbuka dan tanpa kursi. Jujur, sinyal was-was hati saya muncul sepanjang perjalanan saat itu.
Saya tentu sejalan dengan jutaan pengguna commuterline lain yang kini merasa aman dan nyaman naik kereta, sejak awal datang ke stasiun, di dalam kereta, hingga turun. Saya bangga melihat layanan commuterline bisa dikatakan setara dengan mass transport lain di luar negeri: electronic gate, rapid window time, kereta ber-AC, toilet bersih yang gratis, dsb. Saya dan kelas menengah lain yang merupakan 45% populasi bangsa ini tentu perlu dilayani dengan standar yang baik dan dinyamankan agar semakin produktif menggerakkan ekonomi. Saya dan para millenial yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2016, jumlahnya mencapai 32% populasi tentu harus diberikan layanan dan tampilan yang hi-tech, bersih dan enak dilihat, instagrammable, serta setara
dengan fasilitas seperti yang pernah kami rasakan di luar negeri.
Bagian Otak Yang Lain
Namun tiba-tiba sebagian otak saya yang lain muncul menyeruduk. Otak yang ini mengingatkan saya bahwa 35% populasi Indonesia tergolong miskin. Sebagian otak saya ini mengingatkan saya bahwa kurang dari lima tahun lalu, saya menggunakan kopaja ke mana-mana, bepergian dengan kereta ekonomi, bahkan menerima gaji hanya sedikit di atas UMR. Otak saya berkata bahwa saya beruntung mampu mengubah nasib saya hanya dalam waktu singkat; hal yang tidak bisa dilakukan oleh jutaan orang di luar sana.
Otak di pinggiran yang sudah hampir terkubur kemudian mengeluarkan catatan tentang kemiskinan struktural −yang pernah saya pelajari, bahkan saya tulis juga di dalam blog ini; bagaimana ibu tua tadi harus berjuang di kehidupan sehari-hari. Mengapa ibu tadi yang sudah renta dan hanya ingin memenuhi kebutuhan dasar para cucunya, masih harus dihalangi untuk berjualan? Mengapa peremajaan stasiun memberikan ruang luas untuk Starbucks, Indomaret, Alfamidi, dan took / kedai jaringan lainnya −meski memang kebersihan, keteraturan, dan keindahan terjamin? Mengapa tidak memberikan ruang (cukup) 2m x 2m untuk masyarakat kecil agar bisa sekedar menjual tisu, seperti ibu tadi? Okelah kalau makanan atau minuman dilarang karena kemungkinan besar akan menjadi jorok, tetapi tisu, keripik di dalam plastik, permen, cemilan? Sebuah kios 2m x 2m akan lebih dari cukup untuk si ibu tadi bisa berjualan dengan tenang. Biaya sewa pun tinggal dihapuskan.
Epilog
Sebenernya kasus ini sama halnya dengan pelebaran trotoar. Sebelah otak saya sangat senang dengan pelebaran itu, terlebih jika diikuti pembersihan dari PKL yang mengokupasi jalan. Hanya saja otak saya yang lain pun berpikir, keberadaan mereka juga dibutuhkan oleh kelas menengah; keberadaan mereka tentunya dibutuhkan oleh keluarga mereka yang masih termarjinalkan oleh pembangunan. Mengapa kewajiban fasilitas umum pengembang tidak dibuat wajib shelter PKL dan trotoar. Saya yakin PKL tidak akan mengambil jatah trotoar kalau mereka diberikan cukup wilayah, seperti deretan PKL sepanjang belakang Menara BRI di area Semanggi.
Tapi mau bagaimana lagi, kelompok saya alias para kelas menengah dan millenial, harus diperhatikan dan dilayani demi kemajuan negeri. Kelompok lain? Silakan berdiri menunggu dulu.