Uncategorized

Menggenjot Kontribusi Multifinance untuk Pasar Otomotif

Banyak pihak mengakui, daya beli kelas menengah saat ini terus memberikan sinyal melemah. Beberapa tanda pelemahan ini pun semakin nyata terlihat. Ekonom Senior Indef, Didik Rachbini, mengatakan bahwa turunnya daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, tercermin dari deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan deflasi terus menerus terjadi sejak Mei hingga September 2024. Deflasi pertama kali terjadi pada Mei lalu, sebesar 0,03% month to month dan semakin dalam pada Juni 2024, sedikit membaik pada Agustus, namun kembali memburuk pada September 2024 di angka 0,12%. Menurunnya daya beli masyarakat ini disinyalir terutama karena menurunnya pendapatan riil masyarakat.

Kinerja industri manufaktur Indonesia juga terus melemah, bahkan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur memasuki zona kontraksi, dari level 50,7 pada Juni 2024, menjadi 49,3 di Juli 2024.

Hal ini menyebabkan terjadinya banyak PHK akibat melemahnya permintaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga produksi tertahan dan ekspor menurun. PHK yang terjadi terus menerus kemudian pada akhirnya menyebabkan penurunan jumlah kelas menengah yang selama ini menjadi tumpuan daya beli konsumsi.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market pada Juli 2024 memperlihatkan proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada akhir 2023 menurun hingga berada di angka 17,44%. Jumlah ini anjlok dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45%.

Daya Beli terhadap Produk Otomotif Ikut Menurun

Menurunnya daya beli masyarakat, berpengaruh pula pada menurunnya daya beli kendaraan bermotor, terutama mobil baru. CNBC Indonesia pada Juli 2024 memberitakan bagaimana secara akumulasi, penjualan mobil nasional di semester pertama tahun 2024, mencapai 408.012 unit. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian semester pertama tahun 2023 yang tercatat mencapai 506.427 unit. Artinya, ada penurunan sekitar 19,43% secara tahunan.

Namun, penjualan mobil yang tak lagi cemerlang ternyata bukanlah hal yang baru terjadi. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam risetnya mencatat, penjualan mobil nasional sebenarnya sudah stagnan sejak tahun 2015.

LPEM FEB UI menganalisis data penjualan mobil nasional yang dirilis Gaikindo sejak tahun 2013. Setelah mencapai puncak di angka 1,23 juta unit pada tahun 2013, hingga saat ini, produksi mobil melampaui penjualan yang bisa dilakukan. Bahkan, selisih antara kelebihan produksi terhadap penjualan semakin lama semakin bertambah tiap tahunnya.

Apalagi hingga kini pun, mobil masih termasuk dalam kebutuhan sekunder rumah tangga. Bahkan bisa dikatakan kebutuhan tersier, apabila hanya memasukkan tingkat kepentingan untuk membeli mobil baru.

Peran Bank dan Multifinance

Dari sisi pembiayaan terhadap sektor otomotif, perbankan saat ini masih mengetatkan kredit, meskipun suku bunga sudah menurun. Bank Indonesia pada akhir triwulan pertama 2024 memperkirakan tetap bertumbuhnya kredit kendaraan bermotor di sisa tahun 2024, meskipun penyaluran kredit diperkirakan akan lebih ketat dibandingkan triwulan sebelumnya karena melihat kenaikan NPL yang dialami oleh jasa perbankan.

Meski begitu, Bank Indonesia terus mendorong suku bunga kredit, baik kredit produktif maupun konsumtif, untuk terus di bawah 10%, serta agar perbankan dapat melonggarkan jangka waktu kredit dan persyaratan administrasi.

Melihat situasi perbankan tersebut di atas, sebenarnya saat ini adalah saat yang tepat untuk multifinance (perusahaan pembiayaan) dapat mengambil peran lebih. Terlebih fungsi utama bidang usaha multifinance adalah menyalurkan pembiayaan sebesar-besarnya untuk membantu menggerakkan ekonomi, baik melalui kredit produktif maupun konsumtif.

Memang, risiko semakin besar di tengah pelemahan daya beli. Akan tetapi, hal ini sebenarnya dapat dimitigasi, seperti tercermin dengan terus berkembangnya bisnis pay later yang bahkan berstatus kredit tanpa agunan. Sedangkan multifinance yang melakukan pembiayaan pada kendaraan bermotor, masih menggunakan agunan, sehingga sebenarnya lebih terjamin.

Multifinance Perlu Lebih Berani Salurkan Pembiayaan

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno sendiri di awal 2024 menyatakan, pasca berlakunya Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seseorang tidak bisa lagi dengan mudah mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan lain apabila ia bermasalah. Sebelumnya, catatan yang dikenal dengan BI Checking ini memiliki masalah seringkali tidak update datanya, terutama saat mengakses data pembiayaan lintas lembaga keuangan non-bank.

Multifinance juga semakin memiliki teknologi terkini untuk memverifikasi calon debitur/pembeli mobil. Sistem KYC (know your customer) di lembaga pembiayaan sudah mengkoneksikan data KTP, sidik jari, geo tagging tempat tinggal, hingga data SLIK OJK yang ter-update terus menerus. Maka seharusnya, multifinance tidak perlu takut menyalurkan kredit, selama proses verifikasi dan approval kredit dilakukan sesuai dengan standar operating procedure (SOP) yang ada.

Apabila multifinance lebih berani menyalurkan pembiayaan, pembelian mobil baru pun akan lebih mudah dan murah dilakukan, baik dari sisi proses maupun biayanya. Hal ini dalam jangka pendek maupun panjang, akan mendukung daya beli masyarakat serta menstabilkan penjualan mobil baru yang berkontribusi kepada kedua sisi hulu dan hilir ekonomi.

Artikel ini sebelumnya telah tayang di Auto Jago Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *