Sudah lama saya tak menulis. Kesibukan tugas ke luar kota, sempat bed rest beberapa hari, hingga acara volunteer membuat saya tak sempat menulis. Banyak cerita sebenarnya dari kejadian-kejadian yang saya sebutkan tadi, hanya saja, saya belum menemukan ketenangan batin dan suasana untuk benar-benar bisa menulis dengan baik.
Tulisan berikut sebenarnya hanya secuil kecil dari pengalaman saya ber-volunteer ria di Nusa Tenggara Timur dalam kegiatan Bakti Nusantara. Tulisan ini pun terjadi karena saya dipaksa menulis satu halaman pengalaman saya menjadi panitia maksimal seminggu setelah kegiatan selesai.
Sekilas Bakti Nusantara
Bakti Nusantara adalah kegiatan pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara). Kegiatan ini menyinergikan kekuatan alumni yang saat ini berada di TNI/Polri maupun sipil, serta berkolaborasi dengan seluruh institusi terkait, di level pusat maupun daerah. Pelaksanaan BN pun meliputi pengembangan 3 (tiga) aspek, yakni kesejahteraan (Bangun Nusantara), kesehatan (Sehat Nusantara), dan pendidikan (Insiprasi Nusantara). BN pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta menjadi inspirasi dalam membangun sebuah peradaban yang maju dan berkarakter.
Menjelajah NTT sebagai Panitia
Selama setahun terakhir, saya cenderung menghindar untuk mengikuti kegiatan-kegiatan publik. Entah kenapa, saya merasa tidak dalam mood yang baik mengikuti atau mendatanginya. Dalam kaitan Ikastara pun –yang mana saya biasanya sangat bersemangat, saya cenderung malas ikut serta.
Sekitar pertengahan tahun 2017, saya membaca pengumuman bahwa Ikastara akan menyelenggarakan semacam kegiatan bakti sosial di Nusa Tenggara Timur yang mengambil nama Bakti Nusantara. Sekali-dua kali membaca pengumuman, saya masih belum juga tertarik untuk mengikutinya. Hingga beberapa teman angkatan saya turut serta dan saya dihubungi oleh mereka serta beberapa adik kelas, saya akhirnya mendaftar sebagai relawan. Pada saat itu, banyangan saya menjadi relawan adalah menjadi anggota biasa yang akan menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam waktu singkat mendekati hari pelaksanaan.
Dua bulan setelah pendaftaran, saya dihubungi oleh panitia inti yang memberitahu bahwa saya menjadi Ketua Tim Humas dan Publikasi. Kaget, saya sempat mengatakan kalau saya tidak berniat dan berminat menjadi ketua tim. Namun dengan alasan bahwa saya adalah orang pertama dari tim yang bisa dihubungi dan cukup “senior” –tua maksudnya, di antara para anggota, maka sayalah yang dipilih. Entah bisikan dari mana, saya menerima tawaran itu yang padahal saya tahu betul akan merepotkan saya.
Menuju Puncak Acara
Dalam perjalanannya, sekitar enam bulan bekerja, dinamika tentu banyak terjadi. Pindahnya anggota ke tim lain, kendala sulit dihubungi dan ketiadaan waktu, tipe anggota “hangat-hangat bakpao”, hingga yang sama sekali tidak pernah muncul; mewarnai dinamika tim. Permintaan dan tuntutan kepada tim yang kapabilitasnya tidak dimiliki oleh satupun anggota, juga sering muncul. Solusinya? Harus kreatif membagi tugas, meminta bantuan kepada mereka yang bukan alumni, hinnga berjibaku ke sana kemari, mencari alternatif solusi.
Berada di lokasi kegiatan menjadi hal yang lebih menantang lagi. Di antara semua panitia, saya adalah satu di antara sedikit relawan laki-laki yang bukan dokter. Di level panitia teknis, saya adalah satu dari tiga orang. Dari semua tim Humas dan Publikasi, hanya saya yang berangkat ke lokasi kegiatan. Sehingga seperti yang saya perkirakan, tak hanya mengerjakan bagian tugas saya di Humas dan Publikasi, saya turut membantu semua lini yang masih “bolong” dan memerlukan bantuan. Kerepotan karena selain harus mengerjakan tugas humas dan publikasi sendirian, juga harus berlarian membantu tim lain. Senang, karena memang sejak awal saya sudah niatkan untuk borderless, tidak membatasi bantuan yang bisa atau akan saya berikan.
Tampil Humble untuk Impact yang Lebih Besar
Mengerjakan bagian humas dan publikasi pun menjadi hal yang sangat menantang. Dalam dunia kontemporer yang dipenuhi dengan hasrat narsistik, semua orang ingin menampilkan dirinya. Tak peduli apakah kontribusinya besar, kecil, atau bahkan tidak sama sekali, semua orang mencoba untuk mencari panggung eskpose. Alhasil beberapa kejadian yang sebenarnya sepele, seperti peletakan logo atau spanduk, menjadi problem luar biasa yang keputusannya harus dirapatkan berlarut-larut mengakomodasi tiap keinginan dan kebutuhan narsistik tadi. Boleh lah kalau benar-benar bekerja kemudian menjadi narsis; tapi kalau tidak, seharusnya merasa malu kepada mereka yang telah bekerja keras dan tulus.
Bakti Nusantara telah mengisi kembali semangat saya. Bakti Nusantara telah membuka kembali hati saya untuk memberikan yang terbaik bagi sesama serta merasakan kembali indahnya berkolaborasi.
Epilog
Cerita di atas, seperti disebutkan, hanya sekelumit kecil pengalaman saya selama mengikuti Bakti Nusantara di NTT. Masih banyak lagi cerita-cerita yang sangat cihuy dan menginspirasi untuk dapat diceritakan. Beruntung, saya memiliki waktu dua minggu libur Natal dan Tahun Baru yang tampaknya akan saya pakai untuk menuliskan beberapa journey yang layak di-share.
Menjadi tim humas dan Publikasi disamping banyak kerjaan dan tidak ada waktu banyak untuk beristirahat jadi yang lain banyak sudah yang tidak teruruskan.
Kapan ada selingan waktu untuk menulis dan mengembangkan apa yang tertunda???