Sudah cukup lama saya tidak menulis blog. Alasannya? Karena saya sudah semakin jarang naik Bus Transjakarta, Kopaja, atau Metromini. Di tiga kendaraan umum itulah saya biasa melewatkan macetnya Jakarta dengan menulis blog.
Saya belakangan ini lebih suka naik ojek daring ke mana-mana. Tentu, naik ojek daring lebih cepat sampai, dengan harga yang tidak berbeda jauh -maklum, ojek daring banyak promo memberi harga miring. Setidaknya kenikmatan berojek selama dua mingguan ini memberi saya ide untuk menulis.
Menjadi Lebih Cepat Itu Adiktif
Saya ternyata tidak berbeda dengan manusia zaman sekarang yang serba instan, terutama persoalan kecepatan dan efisiensi waktu untuk mencapai sebuah tujuan. Seperti saya ceritakan di awal, saya memilih ojek karena saya bisa lebih cepat sampai ke tujuan, terutama dalam perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Adiksi dari lebih cepat sampai kantor ini membuat saya meninggalkan kendaraan umum berbentuk bus.
Di satu sisi memang instan, lebih cepat, dan tidak capek. Namun di sisi lain, saya menyadari setidaknya ada dua proses yang hilang. Yang tidak saya sadari? Mungkin lebih banyak.
Proses pertama adalah dengan memakai ojek, saya lebih sedikit berjalan kaki tiap harinya. Jika sebelumnya saya berjalan tiap hari sekitar tiga km (rumah-halte, halte-kantor, kantor-halte, transit antar halte, halte-rumah) dan berdiri setidaknya dua jam (berangkat kerja, pulang kerja), maka dengan naik ojek, hampir sepanjang hari saya duduk. Hampir tak ada kegiatan yang memaksa saya berdiri, kecuali jalan ke toilet kantor sekitar empat kali sehari. Di luar duduk, paling kegiatan terbanyak saya lainnya adalah tidur. Sungguh saya baru sadar bahwa adiksi terhadap hal instan lebih cepat sampai membuat tubuh saya tidak bergerak sama sekali.
Proses kedua yang saya sadari hilang adalah proses berinteraksi dengan berbagai orang: sesama penumpang, kondektur, pengamen, asongan, dsb. Dengan naik ojek, interaksi saya hanya dengan supir ojek, itupun kalau dia mengajak saya bicara. Kalau supir ojeknya diam saja, ya saya juga diam saja. Saya menjadi merasa kehilangan sesuatu, kehilangan daya interaksi sebagai manusia, juga berkurang rasa dan kepekaan mengamati hal kecil setiap harinya. Lagi-lagi, semuanya karena sifat instan hemat waktu yang saya pilih.
Instan= Untung?
Jadi apakah saya harus atau akan mengubah hari-hari saya lagi? Kembali menaiki kendaraan umum berbasis bus supaya saya lebih banyak bergerak, mengamati, dan berinteraksi? Tapi hal instan hemat waktu tadi sungguh adiktif dan menguntungkan waktu saya.
Belum lagi, hampir semuanya tahu kan kalau saya ini juga seorang tukang jual mie instan. Sesama instan, mie instan ini pun memberikan saya keuntungan besar. Lebih mudah disiapkan, bisa distok lebih lama, tidak ada sisa barang terbuang.
Hmm… Jadi sebenarnya kata kunci instan ini membawa efek positif atau negatif? Saya jadi makin bingung menimbang-nimbang.