Awal tahun ini, Kementerian Pariwisata dikabarkan menggarap Jakarta dan Bali menjadi Kota MICE. Selain dua kota ini, sepuluh kota lain pun disiapkan, salah satunya Bandung. MICE sendiri kependekan kata dari meetings, incentives, conferencing, exhibitions; alias bagaimana caranya membuat kota-kota ini menjadi tuan rumah acara atau rapat besar yang kemudian pesertanya diharapkan mengunjungi tempat wisata di dalam rangkaian acara atau memperpanjang masa tinggal untuk berwisata setelah beracara.
Mari kita melihat Jakarta dan Bandung yang baru saja menjadi tuan rumah rangkaian Konferensi Asia Afrika (KAA). Bali tak perlu dibahas karena sudah sangat biasa menyelenggarakan konferensi internasional.
Kesiapan Jakarta dan Bandung
Pemerintah dengan segenap hati, biaya, dan tenaga menyiapkan dua kota ini untuk perhelatan MICE KAA. Jalan, taman, pengamanan, dan lain sebagainya dipermak agar tampak bagus di mata para tamu. Tapi saya justru bingung; kalau sebuah kota sudah siap menjadi kota unggulan MICE, kenapa harus berbenah menjelang acara. Bukankah kota ini seharusnya sudah siap menyambut peserta MICE kapan saja tanpa perlu (dalam istilah Bahasa Jawa) gedandapan menyiapkan semuanya. Satu hal aneh menurut saya, tapi ya sudahlah.
KAA pun akhirnya (menurut panitia) berlangsung sukses, semuanya mantap. Para tamu undangan dengan aman dan nyaman melenggang di jalan-jalan protokol Jakarta. Hanya sedikit terlupa oleh panitia, bagaimana warga Jakarta berjibaku dengan penutupan jalan. Jakarta yang biasanya macet, menjadi semakin macet dan amburadul karena bahkan kendaraan umum tidak bisa melintas dan orang tidak boleh menyeberang jalan. Poin kedua yang membuat saya bingung: bagaimana mungkin sebuah kota yang (katanya) siap menjadi kota MICE melumpuhkan dirinya sendiri hanya untuk sebuah acara.
Masih Belum “Tahan”
Saya tidak bisa membayangkan kalau Jakarta jadi tuan rumah acara internasional sekali saja tiap bulannya, jalanan itu mau dibuka-tutup berapa puluh kali. Saya pernah menonton sebuah acara di Discovery Channel mengenai penyiapan Kota New York untuk sidang Majelis Umum PBB. Ratusan pemimpin negara dan ribuan delegasinya tidak membuat transportasi lumpuh: hanya dibuat satu lajur khusus untuk kendaraan tamu lewat dan tidak ada transportasi umum berhenti. Tapi ya sudahlah, hanya sekedar hal aneh yang kedua menurut saya.
Ternyata juga dalam rangkaian KAA ini, Bandung meliburkan semua aktivitas ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan seharian penuh. Semua perusahaan dan instansi di Jakarta pun terpaksa menghentikan aktivitasnya sebelum pukul 16.00 selama dua hari penyelenggaraan, agar semua pegawai bisa pulang ke rumah sebelum jalanan ditutup. Hmmm, saya membayangkan New York lagi, ataupun Singapura yang terkenal sebagai pusat MICE, apa yang terjadi kalau bursa saham mereka diliburkan seharian hanya untuk suatu acara internasional. Sebuah keanehan ketiga bagi saya melihat Jakarta dan Bandung sebagai kota MICE.
Epilog
Saya dua kali menghadiri acara internasional di Bali. Yang pertama hanya diikuti beberapa belas kepala negara, yang lain tidak sampai tiga puluh. Tapi ribuan tamu penting lain hadir, termasuk para CEO top, menteri, penerima nobel, dsb. Dua kali acara itu, saya tidak melihat Bali diliburkan. Saya juga tidak melihat tentara berjaga di setiap perempatan atau iring-iringan super panjang mengantar para tamu. Perlu digarisbawahi, Bali hampir setiap bulan menyelenggarakan konferensi internasional. Kenapa Jakarta dan Bandung tidak bisa seperti itu? Kehidupan tetap berjalan normal meski perhelatan akbar digelar. Tapi Jakarta dan Bandung memang masih harus banyak belajar agar tiga hal aneh di atas tadi tidak terjadi lagi.