Sudah lama saya tidak pulang malam hari, menyusuri jalanan Jakarta di atas jam 9 malam. Namun kala itu, saya pulang terlambat. Jalanan Jakarta yang biasanya masih macet, terasa sepi sekali malam itu, memberikan saya kesempatan mengamati situasi di jalanan yang saya lewati.
Warung-warung kaki lima baru memulai keramaiannya, penuh asap masakan dan orang-orang yang mencari cemilan atau tempat bercengkerama di malam hari.
Berbagai ekspresi orang pun terlihat dari dalam bus Transjakarta. Mereka yang berdiri bersandar, duduk terkantuk, juga tersenyum bercengkerama saat berbagi earphone dengan teman seperjalanan.
Adapun para penjaga kedai makan dan minum mulai melap meja, mengepel lantai, tampak bersiap menutup lapak mereka.
Duren terjaja di atas mobil pickup masih diramaikan oleh pembeli yang tampaknya mencari jajanan malam sehabis hujan tadi.
Commuterline masih saja dipenuhi para pekerja ibu kota yang mungkin baru selesai lembur, sehabis nongkrong, atau sekedar menunggu tak terlalu sesak.
Angkot sapujagat mulai mengambil penumpang yang baru selesai bekerja dan sudah tidak memiliki tenaga untuk berjalan jauh atau berganti-ganti moda.
Terlihat pemulung di pinggir jalan, mencari tempat nyaman di depan gudang yang sudah tutup, merapikan alas tidur seadanya untuk dirinya dan keluarga.
Lobi rumah sakit yang masih menyala terang, tampak dipenuhi beberapa orang. Bisa saja mereka penunggu pasien atau yang tetiba sakit dan mencari kesembuhan di malam hari.
Saat mendekati rumah, saya melewati sebuah pasar. Pedagang pasar tumpah mulai menata dagangan, melayani para pembeli yang akan memasaknya atau menjualnya kembali esok pagi.
Satpam komplek rumah membukakan saya gerbang, mengucapkan selamat malam pada saya. Mengintip pos satpam, terlihat kopi, rokok, dan handphone yang disetel keras mendendangkan lagu-lagu zaman old.
Akhirnya saya turun dari ojek online di depan rumah dan mengembalikan helm yang saya pakai. Pengemudi tadi menutup hari saya dengan mengucapkan, “Selamat istirahat ya, Mas”.
Jakarta, suatu malam…