Sudah 2 (dua) minggu saya terpaksa bekerja dari rumah (bahasa kerennya: work from home alias WFH) akibat merebaknya pandemi Covid-19 (C19). Meskipun sebenarnya, tidak full 2 (dua) minggu itu juga saya WFH. Tiga hari awal, saya menyempatkan ke kampus untuk mengejar tanda tangan pembimbing studi, setelah pada akhir bulan lalu berhasil lulus sidang tertutup.
Syukurlah, saya mendapat semuanya dengan lancar sebelum pandemi C19 semakin parah terjadi. Satu hari setelah saya ke kampus, ternyata kampus saya tadi libur hingga September nanti. Itupun dengan harapan, pandemi C19 sudah berakhir pada akhir September. Saya tidak tahu kapan sidang terbuka saya akan terlaksana karena belum ada kebijakan melakukannya secara online. Saat ujian lain bisa terselenggara online, sidang terbuka ternyata masih harus on-site.
Berbicara tentang WFH, sebenarnya hal ini bukan hal baru bagi saya. Namun terpaksa bekerja dari rumah akibat pandemi dan bukan atas kemauan sendiri, baru kali ini terjadi. Sejak mulai bekerja pasca lulus di 2011, semua pekerjaan saya bisa dengan fleksibel dilakukan dari mana saja. Dari perusahaan (pertama hingga kini) pun, terdapat kebijakan bahwa dalam 1 (satu) bulan, karyawan harus melakukan kerja dari luar kantor agar karyawan tetap memiliki fresh idea, work-life balance, juga memahami kondisi riil lapangan. Online setiap waktu atau melakukan video atau conference call dengan berbagai platform menjadi hal yang hampir 10 (sepuluh) tahun saya lakukan.
WFH Dulu dan Sekarang
Mungkin yang berbeda antara WFH alias bekerja dari rumah (atau work from anywhere) saat pandemi C19 dengan sebelumnya adalah lokasi kerja. Biasanya, saya memilih WFA justru tidak dari rumah. Kampus, coffee shop, restoran milik sendiri (ketika masih memilikinya), atau bahkan tempat gym menjadi pilihan saya.
Rumah menjadi pilihan terakhir karena memang hawa berada rumah adalah bersantai dan beristirahat. Belum lagi, saya memiliki prinsip untuk tidak pernah membawa atau mengerjakan urusan kantor ke rumah. Plus, tidak ada pengaturan meja dan kursi yang memungkinkan saya bekerja dengan nyaman. Kalaupun terpaksa membuka urusan kantor, saya selama ini lebih suka menyelesaikannya melalui handphone atau membuka laptop sejenak di atas kasur. Efeknya? Saya tidak bisa berlama-lama karena bisa-bisa justru jatuh tertidur.
Maka terpaksa bekerja dari rumah seorang diri selama 2 (dua) minggu alkibat pandemi dan diperkirakan masih hingga 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan ke depan, benar-benar menyiksa. Apalagi, nyaris tidak ada gerakan keluar rumah, kecuali saat harus berbelanja kebutuhan pokok seminggu sekali.
Memang, saya pernah hidup di asrama selama 3 (tiga) tahun dan biasanya hampir 6 (enam) bulan berturut-turut tidak keluar sama sekali. Namun, asrama tadi memiliki luas 1.000 (seribu) kali rumah saya sekarang. Belum lagi dengan ribuan orang dan berbagai kegiatan setiap harinya, rasa bosan tidak akan pernah muncul.
Sat ini saya mulai terbayang tidak bisa mudik kala lebaran. Ini tentu demi kesehatan saya dan keluarga, serta (dalam rencana pemerintah) akan ada pelarangan transportasi saat musim mudik. Kalau tidak mudik, maka ini pertama kalinya dalam hidup merantau saya sejak SMA, saya tidak mudik bersilaturahmi dengan keluarga di Solo dan sekitarnya. Bahkan untuk bersilatruhami dengan keluarga di Bandung, seperti biasa saya lakukan dua bulan sekali, juga tidak akan terjadi.
C19 oh C19, segeralah pergi..!!