Belakangan ini banyak postingan mengenai pulang tenggo vs. tidak. Sebagai “anak ahensi multinasional” yang terkenal dengan lemburan tiada terkira tanpa bayaran lebih, saya memiliki kisah tersendiri. Tenggo sendiri adalah isilah slang yang berarti ketika jam pulang berdentang (teng -seperti suara jam), maka orang-orang akan langsung meninggalkan kantor (go).
H-2 memasuki dunia agency periklanan/komunikasi, saya bahkan sempat menghitung lantai calon kantor saya dari luar gedung. Saya memastikan apakah lampunya masih menyala pada pukul 8 malam -kebetulan terletak di dekat mall yang saya kunjungi hari itu. Ternyata memang masih menyala. Wah, dalam hati saya: benar-benar harus siap lembur.
Ketika sudah masuk, hal berbeda saya rasakan. Hal itu sejalan dengan istilah yang sering digunakan, yakni flexible time. Meskipun jam kerja resmi adalah 09.00-18.00 dengan 1 (satu) jam istirahat, kami bisa bebas masuk/pulang jam berapapun. Beda suasana kerja fleksibel/tidak antara agency vs. corporate sudah pernah saya tuliskan sekira 4 (empat) tahun lalu.
Semuanya Tentang Pilihan
Bagi saya yang berikhtiar kuliah S2 sambil kerja kala itu, saya memilih masuk agak pagi, supaya bisa pulang sore berlanjut ke kuliah offline. Seorang ayah; dia lebih memilih mengantar anaknya ke sekolah terlebih dahulu, datang agak siang, dan pulang terlambat. Pulang pukul 18.00 dan 20.00 sama-sama membuatnya tiba di rumah pukul 21.00 akibat kemacetan luar biasa di sekitar jam maghrib.
Untuk seorang calon pengantin, ia memilih jam normal 09.00-18.00 agar bisa sarapan bersama ayah/ibu di rumah dan makan malam bersama calon suaminya di dekat kantor. Bahkan beberapa desainer, mereka baru bisa mendapatkan ide kala senja dan malam menjumpa. Di pagi hingga siang hari, sekeras apapun ia berpikir, tak akan ada ide keluar dari kepalanya. Bagi seorang yang memiliki klien dengan zona waktu berbeda, jam kerja yang dipilih akan lebih menyesuaikan “jam hidup” klien di zona waktu itu.
Beberapa bulan mengelola tim, saya mulai memiliki pola. Biasanya saya melemparkan garis besar pemikiran di pagi hari untuk didetailkan oleh tim saya agak siang -mereka senang datang agak siang). Apabila setelah dikirimkan ke klien pada jam makan siang, ada feedback masuk di sore hari, saya kembali merumuskan garis besar sebelum pulang, untuk didetailkan tim saya di malam harinya -dan mereka wajib pulang tidak tenggo karena datang siang). Esok paginya, saya akan merapikan pekerjaan mereka kembali dan mengirimkannya ke klien.
Bagaimana kalau dalam keadaan urgent, saya harus lembur? Maka saya biasanya kembalikan ke definisi urgent. Apabila memang karena klien sedang ada masalah reputasi, persiapan event yang tinggal esok hari, atau sudden occasion yang kita butuh ride on segera, tentu saya wajib menyelesaikan pekerjaan itu meski harus lembur.
Perdebatan atas Sebuah Ambiguitas
Cerita yang bertebaran di media sosial soal pulang tenggo atau tidak, saya lihat hanya menyoroti sepotong kejadian. Perdebatan yang ada, tidak menggambarkan cycle kerja keseluruhan. Lagipula definisinya juga kurang jelas. Misalnya jam kantor saya pulang 18.00 tadi. Apakah orang yang sholat maghrib baru kemudian pulang 18.07, maka ia termasuk mendahului (karena mengakhiri pekerjaan sebelum tenggo untuk sholat dan pulang), tenggo, atau terlambat (karena pulang lewat 7 menit)?