Di akhir Februari ini, saya mengalami akhir dari banyak cerita. Cerita-cerita yang beberapa bulan terakhir menghiasi roller coaster kehidupan, terutama di masa pandemi. Kisah-kisah yang kadang membuat saya tidak bisa tidur di malam hari, tidak tenang bekerja dan berpikir, bahkan menghilangkan semangat melakukan hal-hal positif. It’s too pity, isn’t it? Hal-hal yang bahkan membuat tukang cukur dan pijit langganan cluluk tentang uban di kepala saya bertambah banyak hanya dalam hitungan bulan.
Mungkin lebih baik (dan menimbulkan penasaran untuk bertemu saya demi mendengar secara langsung!) apabila detail akhir dari banyak cerita itu tidak tertulis di sini. Mengingat sifat netizen negeri berflower yang sangat budiman, lebih baik cerita-cerita tadi berakhir di dalam hati dan pikiran saya —atau mari bertemu muka apabila ingin mendengar kisah lengkapnya.
Namun secara garis besar saya tetap ingin memberi spoiler: akhir dari banyak cerita ini berhubungan dengan relasi, rumah, hingga pekerjaan. Bisa dibilang, semuanya berdampak sangat dalam bagi kehidupan saya, keluarga, atau mungkin kenalan dan masyarakat sekitar.
Beberapa orang yang mengetahui akhir cerita saya kemudian bertanya apakah saya puas, senang, bahagia dengan akhir dari banyak cerita tadi. Jawaban saya? Tidak semuanya sempurna, tidak semuanya 100% memberikan kepuasan, tidak semuanya sesuai dengan rencana dan harapan. Namun setidaknya, semua akhir yang saya alami, memberikan saya kesempatan untuk bergerak lebih baik ke depan. Saya lebih bebas mengambil keputusan, lebih bisa memilih, lebih menikmati apa yang ada, serta lebih memiliki opsi untuk perjalanan selanjutnya.
Epilog
Bukankah akhir dari sebuah kisah adalah awal dari kisah yang baru? Untuk bisa mengawali semua hal baru, maka kita pun harus legawa menutup yang lalu. Seperti kata Eleanor Roosevelt: In the long run, we shape our lives, and we shape ourselves. The process never ends until we die. And the choices we make are ultimately our own responsibility.