Tahun 2022 ini menjadi yang pertama kali bagi mayoritas orang Indonesia meng-udik alias mudik alias pulang kampung dalam rangka Idul Fitri atau Lebaran, sejak pandemi Covid-19 melanda dunia. Bagi saya, ini bukan yang pertama kali karena tahun lalu saya sempat mudik, mencuri-curi kesempatan di luar lockdown window bepergian ke luar kota. Seumur hidup saya, hanya pada tahun 2020 di saat puncak kasus Covid-19, saya tidak mudik. Pada saat itu, saya berdiam saja di ibu kota dan tidak ada feel Lebaran karena libur pun benar-benar hanya 2 (dua) hari tanggal merah.
Tahun 2022 ini saya kembali mudik, bahkan yang terlama, selama 16 (enam belas) hari. Pertanyaan yang biasanya muncul pun kembali: Memang kamu Lebaran? Kok mudiknya lebih lama daripada yang Lebaran?
Biasanya, orang-orang yang bertanya seperti itu, tidak memahami esensi dari mudik itu sendiri. Mereka yang bertanya seperti itu, biasanya hanya memandang tanggal merah atau kepulangan ke kampung itu sekedar perayaan keagamaan. Mereka lupa esensi mudik adalah meng-udik, tradisi yang mengakar pada budaya sejak dulu kala, tidak terikat pada sekat agama.
Meng-udik
Ngomong-ngomong meng-udik, rasanya mudik itu adalah waktu yang pas, terutama bagi tipikal warga ibu kota seperti saya, untuk kembali merasakan suasana udik di kampung. Bangun pagi dengan santai, bercengkerama dengan keluarga dan tetangga, waktu tempuh singkat ke mana-mana, hingga ngemplok makanan-makanan yang hanya tersaji di kampung. Ya meskipun area tinggal saya yang isinya banyak perantauan itu, masih sering terasa suasana kampung juga sih, dari mbok jamu gendong sampai suara ayam setiap pagi. Namun tetap saja, suasananya berbeda.
Bagi saya, meng-udik terutamanya adalah menikmati pace yang lebih lambat, gerakan manusia yang lebih santai. Beberapa hari di awal mudik, saya sempat gregetan. Naik ojek, pengemudinya berjalan lebih lambat. Ingin service jam, toko buka lebih siang, bahkan terlambat dari jam buka yang tertulis. Memesan makanan, penyajian membutuhkan waktu, tidak instan beberapa detik seperti di ibu kota. Terasa membuncah memang hati ini, namun kembali saya mengingatkan diri, “Hey, ini bukan di ibu kota, dimensi-dimensi yang dikejar oleh orang-orang ini berbeda.”
Saya pun kembali kalem dan mencoba menikmatinya. Toh benar, ketika saya datang terlambat beribadah karena pengemudi ojek tadi membawa motor dengan santai, ternyata saya masih bisa masuk. Padahal pengalaman saya di ibu kota, terlambat sedetik saja dari batas waktu, kita tidak akan dibolehkan masuk.
Meng-udik berarti juga mengunjungi keluarga besar, mendatangi para sesepuh, kembali menilik root kehidupan kita. Kita berasal dari mereka, kita patut me-reach out mereka, menjaga relasi dengan mereka yang membuat kita ada dan peduli pada kita.
Epilog
Meng-udik, mudik, pulang kampung pada akhirnya sama seperti kata pepatah: step back to move forward. Kita butuh melambat sejenak, mundur sejenak, melihat kembali ke belakang, untuk bisa kembali memacu ke depan.