Uncategorized

Empati

Bulan ini saya mendapatkan dua cerita berbeda tentang arti sebuah empati. Menariknya, dua cerita berbeda ini berasal dari kelas masyarakat yang berbeda. Saya tidak bisa jump to conclusion apakah level kemakmuran dan/atau pendidikan mempengaruhi empati. Tentu memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum menjadi sebuah generalisasi. Namun setidaknya, saya beharap kita semua bisa belajar.

Bergumul dan Berempati Bersama Kelas Bawah

Cerita pertama berasal dari adik kelas saya yang bernama YFY. Menarik ketika ia bercerita bagaimana kantornya berusaha mendidik seluruh karyawan untuk bisa menjadi seorang sales. Kenapa harus sales? Ya tentu karena scope of work ini adalah tulang punggung perusahaan, revenue generator utama yang membuat perusahaan mampu beroperasi. Namun dari ceritanya, yang ia amini sendiri, justru bukan persoalan sales tadi yang menarik.

Singkatnya, simulasi memaksa semua pegawai menjadi seorang sales adalah dengan menurunkan mereka ke sebuah wilayah. Di wilayah asing tersebut, para pegawai hanya boleh membawa KTP; tanpa HP, dompet, atau kartu-kartu lainnya. Nah kemudian, para pegawai tadi harus kembali ke kantor di hari itu dengan cara apapun. Terserah kepada tiap pegawai, jurus apa yang mereka mau gunakan untuk bisa kembali ke kantor yang berjarak sekitar 15 km dari tempat penurunan. Saya tuliskan di awal tadi, mereka harus bisa “menjual diri”: apakah dengan menawarkan jasa sehingga mendapatkan uang transport pulang, mendayu-dayu meminta tolong, atau mungkin ada ide-ide brilian lain.

Lalu apa yang menarik dari semua itu? Yang menarik adalah justru bagaimana orang-orang yang selama ini kita anggap remeh, mereka memiliki empati untuk membantu! Adik kelas saya tadi bercerita bagaimana ia dan para teman kantornya “menjual diri” pada pedagang kaki lima, pemilik warung dan kios, supir angkot, hingga orang asing di transportasi umum. Di awal memang mereka menjelaskan apa yang terjadi pada mereka (hanya membawa KTP) adalah simulasi kantor. Namun yang mereka dapatkan ternyata jauh lebih dari yang dibayangkan: pedagang kaki lima atau pemilik warung mau memberikan uang transport dengan sedikit kompensasi, misalnya membantu berjualan beberapa botol air mineral; supir angkot yang mau mengantarkan ke tujuan tanpa dibayar; orang tidak dikenal yang mau menyisihkan uang membantu “anak hilang” tadi agar bisa kembali ke kantor.

Ketika adik kelas saya iseng bertanya mengapa mereka percaya dengan apa yang ia ucapkan dan mau membantu, jawaban yang keluar adalah karena orang-orang tadi pernah merasakan kesusahan yang sama sehingga tahu rasanya berada pada kondisi tidak memiliki apa-apa dan sangat membutuhkan bantuan orang lain.

Mengharapkan Empati Kelas Menengah

Mari kita bandingkan dengan golongan kelas menengah yang kali ini adalah pengalaman saya sendiri. Sekira dua minggu lalu, salah seorang teman saya mendadak menghilang dari peredaran. Bermacam channel komunikasi seperti telepon, sms, whatsapp, hingga media sosial tidak aktif. Yang membuat saya lebih deg-degan adalah teman saya tadi melakukan perjalanan darat antar pulau bersama keluarga.

Long story short, saya mencoba meminta tolong semua kenalan untuk secara informal bisa tracking di mana teman saya tadi berada. Salah satu yang saya harapkan dapat membantu adalah para member sebuah grup Whatsapp. Grup tersebut berisi orang-orang well-educated, well-resourced, dan well-connected yang sangat mungkin bisa membantu menemukan teman tadi. Memang dasar dari sebuah minta tolong adalah kita tidak perlu terlalu berharap, toh tidak ada kompensasi materiil yang kita berikan.

Saya sudah memiliki ekspektasi berupa ketiadaan respons, sekedar kalimat bersimpati, atau penolakan membantu. Namun ternyata, skeptisisme yang saya dapatkan. Beberapa member grup tadi menanyakan kenapa saya harus peduli dengan “sekedar” teman yang menghilang. Beberapa member lain sambil bercanda mengatakan mungkin teman saya tadi bergabung dengan grup ekstremis atau meninggal akibat Covid-19 di suatu tempat. Ada juga yang mengatakan untuk menyerahkan kasus ini pada polisi -kalau misalnya keluarga teman tadi mencarinya, kalau tidak ya tidak perlu ikut khawatir.

Mendapatkan respons seperti itu, rasanya saya tidak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi mengapa saya sampai mencoba jalur informal, mengapa saya sebagai teman ikut khawatir, atau mungkin mendebat tentang perbedaan degree of friendship di antara kami. Sejak awal, terlihat sekali bagaimana empati itu tidak muncul pada respon mereka. Terlihat sekali bagaimana pemikiran itu ada, untuk tidak perlu peduli pada kondisi orang lain.

Yang sangat disayangkan, pemikiran ini berasal dari orang-orang yang memiliki daya pikir, sumber daya, hingga koneksi untuk membantu orang lain. Saya hanya berharap sikap mereka terbatas pada kasus saya yang mungkin tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mereka; bukan pada setiap kondisi yang membutuhkan sedikit empati.

Epilog

Again, kedua kondisi di atas bukanlah dua kejadian yang apple to apple dan menjadi sebuah generalisasi. Namun saya ingin menunjukkan bagaimana kita perlu menumbuhkan empati. Be kind to everyone. It’s free.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *