Sebagai mahasiswa HI, tidak afdol kalau tidak menginjakkan kaki di luar negeri. Maka saya bersama lima orang lain pun berencana berpetualang berkeliling beberapa Negara ASEAN. Awalnya kami bertujuh, namun adik seorang teman yang tadinya ikut, membatalkan diri karena ujian.
Kenapa Negara-negara ASEAN? Tentunya alasan pertama kenapa Negara-negara ASEAN adalah murah; karena kami berpetualang dengan biaya sendiri. Akhirnya ditetapkan kami akan mengunjungi Bangkok (Thailand), Siem Reap dan Pnomp Penh (Kamboja) dan Ho Chi Minh atau Saigon (Vietnam).
Persiapan Keberangkatan
Tidak banyak yang perlu disiapkan. Tiket murah sudah di tangan, visa tidak perlu, book hostel sudah. Khusus hostel, kami berdasar feeling saja, yang penting harga murah namun review bagus.
Kami akan terbang H+7 Idul Fitri, atau di Senin pertama setelah libur Lebaran. Kami berenam, tiga orang berdomisili di Jakarta dan 3 orang di Jawa Tengah. Bertiga dari Jawa Tengah, akan berangkat dari Kota Solo menggunakan travel. Kami memesan travel di hari Minggu pukul 17.00 supaya pas dengan penerbangan hari Senin pukul 11.00. Di Minggu pagi, kami baru sadar bahwa ini adalah musim arus balik, keberangkatan travel diinformasikan mundur hingga setidaknya pukul 20.00 (estimasi mobul travel sebelumnya sampai di Jakarta, kemudian kembali ke Solo) dan belum bisa dipastikan estimasi kedatangan kami di Jakarta esok Seninnya.
Untungnya kami menggunakan travel terbaik dan baik hati, Rosalia Indah; maka ketika kami membatalkan tiket, uang pun kembali meski memerlukan waktu 7 hari dari tanggal pembatalan. Maka di Minggu pagi itu pula kami hunting tiket kereta api –yang pasti sudah habis melalui jalur resmi– di para calo. Untungnya saat itu, KAI belum seketat sekarang: beda nama di tiket dan KTP, tidak masalah. Kami mendapatkan harga tiket kelas bisnis yang sudah di-mark up namun masih sama dengan harga tiket travel, sehingga semua tidak keberatan. Sampai di Jakarta memang lebih pagi, namun itu justru memberi kami waktu untuk istirahat dan mandi sejenak.
Dus waktu berangkat sudah tiba dan kami terbang dari Terminal 2. Saat itu, karena waktu menunggu yang cukup lama, kami pun mengitari semua terminal Soekarno Hatta dan ternyata bandara terbesar di Indonesia ini luar biasa luas. Yang pasti, lay out Soekarno Hatta perlu ditata kembali agar bandara ini tidak terlihat sempit.
Tiba & Langsung Mengelilingi di Bangkok
Maka malam itu kami tiba di Bangkok, tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta. Suvarnabhumi? Besar dan mewah, campuran warna silver dan birunya mengagumkan. Kami menyempatkan makan sejenak dan mengambil bus ke arah pusat kota (lama). Hostel kami ada di sekitar Khaosan Road, di ujung jalan itu. Kami memesan dua kamar hostel, masing-masing diisi 3 orang. Sudah murah nyaman lagi.
Esok paginya dan dua hari selanjutnya kami berkeliling Bangkok. Banyak sekali turis –memang, turis yang mengunjungi Thailand mencapai 4 kali lipat yang mengunjungi Indonesia-berkeliaran. Thailand memang sudah siap menjadi negeri pariwisata, semuanya dibuat pro-turis. Istana Raja, kuil ini itu, pusat bisnis; kami kunjungi. Bahkan menaiki perahu Chao Praya yang sehari-hari dipakai sebagai “water taxi” juga kami rasakan –water taxi ini sebuah perahu kayu bermesin yang mlintasi sungai hitam pekat; Jakarta berarti sebenarnya bisa-bisa saja, sungainya sama hitamnya. Turis Indonesia super banyak, sampai-sampai rupiah pun diterima sebagai alat transaksi. Kehidupan siang, sore, malam pun kami nikmati.
Dua hal yang menurut saya paling menarik dari perjalanan saya di Bangkok adalah pertama, jangan maen foto dengan asesoris yang disediakan di tempat wisata; kedua, saya kehilangan HP saya. Soal foto dengan asesoris, seperti salah satu teman saya, MA, ternyata ditagih uang setelah selesai asyik berfoto dengan patung kertas berlubang kepala. Soal HP, saya kehilangan benda tersebut di pasar dan (kala itu) menegaskan mitos bahwa saya akan kehilangan HP apabila merk-nya bukan Nokia. Ketika saya membeli HP second di Bangkok, fisik HP tersebut memang sangat bagus, namun ternyata charger yang turut disertakan, bukan untuk HP tersebut –ada yang lebih parah daripada toko HP second di Indonesia ternyata.
Berpindah dari Bangkok ke Siem Reap
Pagi hari itu, kami bersiap meninggalkan Bangkok untuk menuju ke Siem Reap (Kamboja). Di Siem Reap ini terdapat Angkor Wat yang terkenal itu. Malam sebelumnya kami sudah memesan travel yang (menurut travel itu) akan mengantarkan kami sampai Siem reap. Hal ini karena banyak review, turis hanya diberhentikan begitu saja di perbatasan. Oh ya, bagi pemegang paspor Indonesia, kami memerlukan visa untuk memasuki Kamboja. Visa ini bisa diurus dari negara asal atau on-arrival. Kami memilih on arrival karena toh sesama negara ASEAN, (kami pikir) mudah saja.
Maka naiklah travel, kurang lebih 4 jam, kami pun tiba di perbatasan. Di sini oleh travel kami diturunkan dan supir menjelaskan bahwa ia dan mobilnya tidak memiliki izin untuk memasuki Kamboja, sehingga hanya bisa mengantar sampai perbatasan ini. Duh, kepala serasa mau meledak, tapi marah juga tidak ada gunanya.
Perbatasan Thailand – Kamboja: What a Challenge..!!
Ketika mengurus visa on arrival pun, kami dikenakan biaya USD 30 per orang. Padahal di situs resmi, tarifnya hanya USD 15. Sedikit memprotes, rasanya pun tidak ada gunanya kemudian. Akhirnya selesai membayar –dua dari kami belum membayar, kami diantarkan ke perbatasan. Di perbatasan ini ada sebuah bank dan kami benar-benar dikuntit ditemani untuk mengambil uang, membayar kekurangan biaya.
Perbatasan Thailand-Kamboja ini seperti perbatasan padang gurun kalau di film, benar-benar di negeri antah berantah, semuanya kacau. Saat itu memang sedang terlihat pembangunan gerbang dan kantor perbatasan, mungkin saat ini sudah selesai dibangun untuk keperluan turisme yang terus tumbuh.
Sebelum selesai mengurus visa tadi, saya sempat menghubungi hotel kami di Siem Reap dan meminta jemputan sambal menjelaskan keadaan kami. Kami bersedia apabila diminta membayar biaya tambahan asal kami dapat tiba dengan selamat di pusat kota Siem Reap. Ternyata, pihak hotel menyatakan akan mengirim 2 mobil (taxi) gratis untuk kami. Keluar dari imigrasi, sedikit miskomunikasi antara supir taksi penjemput dan supir taksi yang ngetem di sekitar pintu keluar, kami pun masuk taksi serta berkendara dengan tenang dan nyaman.
Suasana Siem Reap
Sebagai informasi, taksi di sini adalah sedan-sedan Toyota keluaran terbaru dan bebahan bakar gas. Di tahun 2010 itu, belum ada satupun kendaraan berbahan bakar gas digunakan di Indonesia; sehingga kami tentu sangat kagum, meskipun pengisian gasnya menggunakan tabung gas layaknya yang digunakan untuk kegiatan las besi.
Di sepanjang jalan menuju Siem Reap, kami melihat deretan turis asing antre menunggu kendaraan –yang kami tidak tahu apa– beberapa meter di luar area taksi yang ngetem tadi. Untunglah kami mendapatkan kendaraan gratis dari hotel –teman saya di mobil satunya berkata bahwa ia dimintai tambahan uang meski akhirnya batal karena kami melaporkannya pada pemilik hotel.
Kebaikan Hati Pemilik Hotel
Sampai di hotel, pemilik hotel menyambut dengan ramah. Ini tipikal hotel baru yang dimiliki dan dikelola sendiri, tentunya karena pariwisata Siem Reap memang baru menggeliat. Hotelnya bersih, memiliki kolam renang dan Jacuzzi. Kami awalnya memesan kamar dengan kipas angina supaya lebih murah, namun kami mendapatkan kamar dengan AC. Pemilik hotel juga sudah menyiapkan tuk tuk untuk kami besok berkeliling Angkor Wat.
Sore itu karena cukup lelah, kami akhirnya menghabiskan waktu di hotel menikmati suasana hotel dan sekitarnya, berenang dan ber-jacuzzi sambal bercengkerama. Esok paginya barulah kami mengunjungi Angkor Wat. Singkat kata, tak jauh beda dengan Borobudur namun jauh lebih luas dan dipakai syuting Angelina Jolie.
Puas mengelilingi Angkor Wat dan beberapa tempat lain di kota, kami kembali ke hotel untuk menuju ke Pnomp Penh.
(Masih) Jalan Dara Menuju Pnomp Penh
Kami kembali menggunakan bus dari Siem Reap ke Phnom Penh. Sengaja mengambil bus di sore hari karena menurut banyak blog, perjalanan malam sangat tidak disarankan karena tingginya tingkat kriminalitas di jalur antarkota. Di sore hari, kami tiba di Phnom Penh. Beruntung, penginapan terletak di pinggir sungai yang mana sepanjang pinggir sungai itu adalah ruang terbuka hijau yang sangat lebar dan dipenuhi orang untuk menghabiskan waktu sore. Sangat sederhana, tapi hal itu tentu menjadi hal mewah di Indonesia yang mayoritas sungainya dan sempadannya tidak diperhatikan.
Malam hari makan dan tidak banyak dikunjungi, kami pun mempersiapkan diri untuk esok hari. Di keesokan harinya, kami mengunjungi dua museum. Satu museum agak jauh, yakni Killing Field. Museum kedua, masih terkait dengan kekejaman Pol Pot berupa penjara di tengah kota. Mengerikan membayangkan apa yang terjadi di kedua tempat ini. Melewati Istana, makan siang, kami pun bersiap meninggalkan Phnom Penh untuk menuju Ho Chi Minh atau Saigon.
Mengelilingi Saigon
Akhirnya tiba juga di kota terakhir dari rangkaian perjalanan kami, Ho Chi Minh City alias Saigon. Kami punya dua hari dua malam di sini. Gereja, Kantor Pos, eks-istana Presiden Vietnam, sampai semacam TMII pun kami kunjungi. Satu rupiah bernilai dua dong di sini; untuk pertama kalinya kami merasa takjub membayar sesuatu yang secara angka lebih besar dari rupiah. Menyewa mobil seharian biayanya 1 juta Dong, membuat kami awalnya ragu, namun setelah itu tersadar bahwa harganya “Cuma” 500 ribu rupiah, sudah termasuk jasa supir dan bensin, masih masuk akal.
Yang paling menarik dari HCM adalah kota bukan lagi lautan motor seperti Jakarta, tetapi merupakan samudera motor. Motor yang berseliweran sangat banyak dan cukup amburadul, sangat sedikit lampu lalu lintas dan jalur menyeberang disediakan. Canda kami: sehingga Anda pelru berdoa sebelum menyeberang dan sujud syukur ketika berhasil menyeberang dengan selamat. Di luar samudera motor itu, HCM merupakan kota di mana perpaduan Prancis dan Vietnam maish terjaga, di mana modern dan tradisional bersanding.
Kembali ke Jakarta
Akhirnya tiba saatnya kami kembali ke Jakarta. Kami terbang dari bandara Than Son Nat yang bisa dibilang kembar dengan Terminal 3 Soetta, minimalis, terlihat sama seperti Terminal 3, sedang menggeliat untuk menjadi ramai.
Oh ya, selama di kota-kota tadi, kecuali Siem Reap, kami ditemani oleh native yang merupakan teman-teman kami di berbagai kegiatan internasional. Di Bangkok ada teman saya yang dua tahun sebelumnya bersama di sebuah acara di Korea. Di Pnomp Penh ada seorang warga Kamboja yang pernah mengikuti summer course di Yogyakarta tahun sebelumnya. Di HCM, ada dua orang teman yang sebelumnya bertemu di sebuah acara ASEAN di Jepang.
Perjalanan ke tiga negara ini membuka mata kami bahwa negara-negara ASEAN lain berlari cepat mengejar Singapura dan Malaysia –dua negara ASEAN dengan ekonomi terkuat. Terbukti tahun ini, atau empat tahun sejak kedatangan kami, beberapa negara itu bahkan berhasil menyalip Indonesia dalam beberapa bidang. Indonesia yang hanya berjalan cepat, selayaknya ikut berlari agar tidak tersalip dan tertinggal.