Uncategorized

Menyambi Jadi Wiraswasta – MIX Diner & Florist

Menjadi wiraswasta? Ga keren.
 
Menjadi wirausaha? Keren banget….
 
Padahal apa beda keduanya? Ga ada. Cuma karena istilah wirausaha kesannya lebih mentereng sekarang ini, maka ketika ditanya “apa kerjanya” dan dijawab “wirausaha”, wah langsung kebayang tuh gimana tajirnya si wirausahawan itu. Anyway, mau wiraswasta atau wirausaha….. kenyataannya? Ga segampang itu. 

Obrolan di Atas Kapal Kayu

Hari Sabtu di pertengahan tahun 2012, saya dan alumni angkatan saya kala SMA, berlibur bersama ke Pulau Tidung. Kami berangkat dari Muara Angke menggunakan kapal kayu menuju salah satu pulau di Kepulauan Seribu itu.
 
Beberapa bulan sebelum perjalan ini, saya dan seorang teman saya, SGF, bertukar pikiran tentang rencana berwirausaha di bidang kuliner. Kenapa kuliner? Simple…. karena mau ada badai, krisis moneter, atau apapun juga, semua orang pasti butuh makanan. SGF kebetulan juga memiliki usaha bakso di kantin kampusnya, Universitas Indonesia.
 
Tapi problem besar dari rencana kami adalah secerah apapun prospek sebuah bisnis, kalau tidak ada modal, semuanya tentu non-sense.
 
Saya dan SGF kemudian memutar otak mencari modal usaha. Maklum, kami berdua dibesarkan di keluarga yang menganut prinsip, “Orang tua hanya akan memberi modal pendidikan dan mental pada anak-anaknya. Urusan uang? Silakan cari sendiri karena pendidikan dan mental tadi sudah lebih dari cukup untuk mencari uang.” Maka tentu kami yang baru saja lulus ini, tidak memiliki uang yang dapat digunakan sebagai modal usaha.
 
Banyak ide bermunculan: hutang ke bank, pinjam tanpa bunga ke anggota DPR kenalan, sampai ikut lomba konsep usaha. Dari semuanya, probabilitas mendapatkan dan bisa mengembalikan, hampir nol..!! Hutang ke bank butuh minimal 2 – 3 tahun pekerjaan tetap dan berbunga tinggi. Pinjam ke anggota DPR bisa-bisa di kemudian hari ternyata ketangkap KPK dan kena pasal pencucian uang.

Maka di atas kapal kayu ini kemudian, sembari ngobrol sana-sini, kami berdua berdiskusi dengan MAA yang juga sangat tertarik berwirausaha. FYI, MAA ini turunan pengusaha dan dari sejak kuliah sudah berwirausaha sehingga bisa dipastikan dia bisa memberi suntikan modal atau setidaknya, menjadi penjamin hutang ke bank.
 
Akhirnya kami bersepakat untuk menciptakan sebuah restoran, meski SF ternyata juga berhasrat berbisnis bunga. Alasannya, bunga itu menciptakan kesegaran, semangat bagi orang yang melihat dan mencium wanginya. Dipikir sana-sini, ya sudahlah kami akhirnya menggabungkan konsep restoran dengan florist. Kalau ditanya orang? Jawab saja: supaya saat makan, para pelanggan berasa ada di taman bunga meski berada di dalam sebuah ruang tertutup ber-AC.

Mencari Nama

Kami selanjutnya berkutat mengenai apa nama untuk restoran ini, sebuah nama yang unik dan melambangkan relasi dan visi kami bertiga. Akhirnya saat kami berdiskusi di sebuah restoran pizza terkenal, kami tanpa sengaja melihat tulisan “MIX” dan itulah nama kami kemudian… MIX Diner & Florist.
 
Kenapa MIX? Karena kami adalah tiga orang dengan latar suku berbeda: Madura, Jawa, Bugis.
Karena kami adalah tiga orang dengan latar pendidikan berbeda: Bisnis, HI, Kesehatan Masyarakat.
Karena kami adalah tiga orang dengan pekerjaan berbeda: Wirausaha, Konsultan, Asisten Dosen.
Karena konsep kami bercampur antara restoran dan toko bunga.
Karena makanan yang kami tawarkan sangat beragam, mencampur makanan Barat dan Indonesia.
dan karena-karena lainnya…..
 
Sedangkan visi kami? Berkontribusi secara nyata pada perekonomian mikro Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja di bidang kuliner. 

Menentukan Lokasi

Setelah mendapat nama, maka kini saatnya kami mewujudkannya secara nyata. Pertama yang harus dipikirkan, tentunya lokasi..!!
 
Mencari lokasi restoran yang tepat di Jakarta ternyata tidak sulit, hanya saja harga sewa yang selangit membuatnya menjadi sangat sulit. Dengan konsep awal menu anak muda, maka lokasi pertama yang kami inginkan adalah Tebet atau Margonda. Di Tebet, anak SMP dan SMA banyak berseliweran di sana. Daerah itu memang sudah menjadi pusat restoran dan distro yang digemari oleh ABG-ABG tadi. Sedangkan di Margonda, tentu saja ribuan mahasiswa Universitas Indonesia bisa menjadi target pasar kami.
 
Berkeliling sana-sini, kami akhirnya mendapatkan sebuah ruko kosong tepat di depan 7-Eleven Stasiun Tebet. Malam itu setelah bernegosiasi a lot, kami akhirnya deal di harga 120 juta selama satu tahun. Berhubung sudah malam, kami menyampaikan pada pemiliknya bahwa kami akan membayar keesokan harinya. Saat esok hari tiba dan kami ingin membayar, ternyata hanya satu jam sebelum kami, penyewa lain sudah membayar lunas 130 juta untuk masa satu tahun. Perasaan marah sempat muncul namun kami mengambil sisi positif, siapa tahu memang lokasi ini tidak ditakdirkan untuk kami dan ada lokasi lain yang lebih prospektif. Maka kami pun harus berkeliling lagi mencari lokasi alternatif.
 
Kami akhirnya menemukan sebuah ruko di dalam kompleks SPBU yang sedang dibangun. SPBU ini sendiri adalah SPBU paling terkenal dan ramai di Jakarta hingga beberapa tahun lalu tutup. Berlokasi di perempatan Mampang Prapatan, SPBU ini terkenal sebagai “SPBU Blue Bird” karena memang dulu ada kerja sama khusus antara Pertamina dengan Blue Bird untuk para taksi mereka mengisi di situ. Dekat dengan perkantoran dan Trans TV, akhirnya kami memilih lokasi itu. Belum lagi bebas harga sewa selama SPBU belum buka dan harga sewa miring setelah buka. Semua itu kami dapatkan karena menjadi tenant pertama di deretan ruko, bahkan sebelum SPBU itu dibuka.

Menyiapkan Desain

Mengenai desain, berhubung kami mendapatkan lokasi di dalam SPBU, sekalian saja kami membuatnya retro a la diner di Amerika sana. Kombinasi merah dan hitam-putih kami pilih agar suasana retro tercipta. Ditambah dengan warna hijau, supaya masuk dengan konsep florist kami. Semua dekorasi kami lakukan sendiri, tentu dengan bantuan tukang. Namun kami tidak menyewa desainer interior khusus atau kontraktor untuk mengerjakannya. Alasannya, kembali pada permodalan. Jika lewat kontraktor, memang akan langsung jadi dalam satu atau dua bulan, tapi uang pasti harus disetor di awal. Namun dengan mendesainnya sendiri, interior bisa ditambah sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan kami.
 
Belum lagi dengan kesibukan kami masing-masing. Hanya di hari Sabtu dan Minggu, kami memiliki waktu untuk mengurus restoran. Di hari kerja, kami semua sibuk dengan kantor masing-masing. Saya juga masih harus melanjutkan kuliah di malam hari, meski saat ide ini muncul, saya sudah berada di semester teori yang terakhir. Teman saya MAA, punya bisnis yang terbentang jauh antara Cakung dan Kuningan. Sedangkan SGF, selain menjadi asisten dosen, masih pula aktif di Gerakan Pramuka sebagai project manager.
 
Toh SPBU ini juga baru akan buka 8 (delapan) bulan lagi sejak kami menemukan rukonya, sehingga kami memiliki banyak waktu untuk menyiapkan restoran ini. 

Terus Berjalan

Itulah sekelumit cerita awal mula MIX Diner & Florist berdiri. Dari ide awal hingga buka, kami membutuhkan waktu 1 (satu) tahun. Restoran idaman kami akhirnya buka pada Mei 2013 (dan masih bisa bertahan sampai saat ini).
Awal mula yang indah dan menantang untuk sesuatu yang sangat terjal. Modal yang ternyata sangat besar, tertipu orang, masuknya LPN sebagai rekan bisnis keempat, perkembangan menu makanan dan lain sebagainya; mewarnai perjalanan restoran campur aduk ini.

3 thoughts on “Menyambi Jadi Wiraswasta – MIX Diner & Florist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *