Uncategorized

Paling Dekat vs. Sedang Sangat Membutuhkan

Apakah Anda pernah berada dalam posisi memilih mereka yang paling dekat dengan Anda vs. mereka yang sedang sangat membutuhkan Anda? Mencoba mengingat, saya dua kali saya harus membuat pilihan itu di masa remaja saya.

Kasus Pertama Ketika Masa SMP

Ketika SMP, saya memiliki teman duduk semeja sejak awal masuk Kelas 1 SMP. Di sekolah kami saat itu, satu meja panjang menyatu dengan bangku panjang yang muat untuk dua siswa. Kami selalu duduk bersama selama hampir masa waktu belajar di jenjang menengah pertama ini. Saat-saat tidak duduk bersama biasanya terjadi saat pelajaran agama -karena memang kami berbeda keyakinan- atau saat kesenian dan olahraga. Kami pun beberapa kali berbeda meja saat sedang berbeda pendapat atau bertengkar. Pun itu terjadi, paling lama seminggu, kami sudah berbaikan dan semeja kembali.

Menginjak Kelas 3 SMP, ada hal yang berbeda. Kami mengenal beberapa teman yang saat itu pernah tinggal kelas dan tidak lulus ujian. Sedikit sombong, saya dan teman sebangku saya saat itu termasuk yang terpintar di kelas. Kami berdua selalu menduduki peringkat lima besar di setiap semester. Ketika naik ke Kelas 3 inilah, kami diminta oleh para guru untuk mendampingi teman yang kurang mampu secara akademik tadi. Di sini beberapa hal mulai terasa berubah.

Ketika teman sebangku saya mengambil approach mendampingi secukupnya, saya beberapa kali berpindah duduk semeja dengan seorang yang kurang secara akademik tadi. Saat itu saya berpikir bahwa pendampingan hampir di tiap mata pelajaran setiap hari, dapat lebih membantunya.

Sayangnya memang, ketika saya melakukan hal tersebut, saya merasa kami bergerak menjadi tidak terlalu akrab. Teman sebangku saya pun merasakannya. Tbh, saya sangat menyesali hal tersebut. Di sisi lain, saya tahu kalau tidak sering duduk mendampingi yang kurang secara akademik, teman tersebut lagi-lagi akan kesulitan lulus. Itulah pengalaman saya berada dalam posisi memilih lebih dekat dengan mereka yang paling dekat vs. mereka yang sedang sangat membutuhkan.

Pada akhirnya, teman yang kurang secara akademik tadi berhasil lulus. Di sisa waktu hingga kelulusan, saya gunakan untuk kembali membangun hubungan baik dengan teman sebangku saya tadi. Meski akhirnya kami berbeda kelanjutan studi di masa SMA dan kuliah, juga di kehidupan kami selanjutnya, saya hingga saat ini masih menganggapnya sebagai salah satu sahabat terbaik. Hingga kini pun, hanya ada 6 (enam) orang teman yang saya ingat hari ulang tahunnya; dan dia adalah salah satunya.

Pengalaman Lain Saat Hidup di Asrama

Pengalaman lain adalah ketika saya menjalani pendidikan di sebuah SMA berasrama. Ketika saya sudah mendapatkan teman satu kasur -jenis kasur kami adalah bertingkat dua, mendadak saya diminta menjadi sekamar dengan seorang teman yang tidak betah bersekolah asrama. Saya diminta membantunya untuk lebih bisa beradaptasi dan kembali betah. Apalagi dalam sesi konseling, teman yang tidak betah tadi secara langsung meminta saya untuk menjadi teman sekasur. Ia merasa nyaman berinteraksi dengan saya ketika masih menjadi calon siswa.

Pilihan saat itu adalah saya atau teman satu kasur asli saya yang berpindah. Kami berdua sempat intens berdebat apakah saya perlu menemani yang tidak betah, kemudian siapa yang harus berpindah kasur. Saya berpandangan bahwa setidaknya saya perlu mencoba sekuat mungkin membuatnya betah. Sedangkan teman saya sempat merasa dinomorduakan dan menurutnya, masih ada orang lain yang bisa membantu teman yang tidak betah tadi menjadi betah.

Pada akhirnya teman satu kasur saya tadi yang berpindah dan kini saya menjadi sekasur dengan yang tidak betah. Tentunya hal tersebut membuat hubungan saya dan teman satu kasur asli tadi merenggang. Namun hanya sekitar 2 (dua) bulan, teman yang tidak betah akhirnya mengundurkan diri dan keluar dari sekolah. Saya dan teman sekasur asli kembali bersatu kasur dan kembali membangun hubungan kami.

Seiring perjalanan, akhirnya saya menyadari bahwa teman sekasur saya ini juga membutuhkan dukungan untuk bisa betah. Keputusan saya mengiyakan permintaan guru ternyata cukup menyakitinya. Meski memang, kondisinya tidak separah teman yang akhirnya keluar tadi. Setidaknya, tiga tahun kemudian saya bersekolah di situ dan berada di kota yang sama saat kuliah, kami beberapa kali bekerja sama dan melakukan kegiatan bersama.

Epilog

Hingga kini saya sendiri belum dapat menjawab mana yang lebih benar, mendahulukan mereka yang paling dekat dengan kita atau mereka yang sedang sangat membutuhkan. Kedua pilihan saya tadi memang berdasar pada logika bahwa teman-teman yang “saya nomorduakan” mampu survive dengan kemampuan mereka sendiri. Adapun yang saya pilih untuk diberikan dukungan, tidak akan survive tanpa bantuan orang lain. Jikalau kemudian hal tersebut menimbulkan kerenggangan hubungan, tentu adalah sebuah risiko dari pilihan saya. Setidaknya saya selalu menganggap mereka sahabat-sahabat terbaik meskipun dalam dua kasus di atas, saya memilih untuk menjauh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *