Kuping saya agak gatal setiap mendengar kata “oknum”, terutama dalam pemberitaan. Misalnya: satu orang oknum polisi tertangkap……., atau dua orang oknum TNI membantu ……. . Bukankah sebenarnya cukup “satu orang polisi” atau “dua orang TNI”.
Kalau banyak orang bilang, “Loh, ga boleh lho menggeneralisasi seperti itu.” Maka saya akan balik bertanya, “Generalisasi bagaimana, kan sudah jelas itu jumlahnya, satu dan dua, bukan seluruhnya”.
Citra vs. Reputasi
Banyak juga yang bilang, “Jangan generalisasi begitu, nanti meruntuhkan semangat (sebut nama institusi) yang sedang berupaya keras memperbaiki institusinya.” Maka saya bertanya pada orang-orang itu, “Tahu ga beda citra dan reputasi? Citra itu dipoles, macam pemakaian kata oknum tadi. Reputasi, sesuai dengan kenyataan, bener-bener berubah ga. Kalau ga berubah, ya mau dicitrakan bagus kayak gimana, tetap saja jelek.”
Saya ingat bahwa beberapa tahun yang lalu, semua pemberitaan tidak menggunakan kata “oknum”. Mereka menyebut generalisasi, tembak langsung: anggota institusi X ditangkap selingkuh, membantu komplotan bersenjata, dsb. Kemudian mendadak semuanya berubah memakai kata “oknum” tanpa menyebut jumlah. Justru itu sangat generalisasi, bukan? Tidak jelas berapa jumlah pelaku yang terlibat.
Dan pertanyaan terakhir saya adalah kenapa ketika hal baik dilakukan oleh satu atau dua anggota institusi X, tidak pernah disebut oknum. Misalnya: “Polisi berhasil menangkap penyelundup.” Kenapa tidak: “Lima oknum polisi berhasil menangkap penyelundup.”
Toh menurut KBBI, hanya satu dari tiga arti oknum yang berkonotasi buruk:
|
Generalisasi Kalau Baik, Lepas Tangan Kalau Buruk
Belum lagi, kalau insitusi X dengan bangganya menyebut nama institusi (generalisasi) untuk suatu prestasi dengan alasan kultur dan organisasi mereka berkontribusi membentuk prestasi tadi; bukankah itu berartu kultur dan organisasi mereka juga berkontribusi terhadap penciptaan suatu tindakan negatif? Jadi kalau (atau selama) kultur dan organisasi sebuah institusi masih menciptakan positif dan negatif, kenapa berkoar prestasi tapi tidak mau mengakui kesalahan.
Kalau sebuah insitusi menganggap dirinya satu tubuh saat berbuat baik, kenapa kemudian tidak menggangap satu tubuh saat berbuat jelek, padahal satu otak dan satu jantung.
Ah…. saya mendadak dapat ilham untuk menjawabnya: ini kemenangan strategi public relations si institusi X tadi.