Salah satu negara di Asia yang ingin saya kunjungi adalah Hongkong, sebuah daerah khusus wilayah Tiongkok yang secara administratif independen dan memiliki paspor sendiri –itu kenapa saya sebut negara. Kenapa saya ingin mengunjungi Hongkong? Karena kota ini dinobatkan sebagai kota dengan pencakar langit terbanyak di dunia. Ya… saya ingin melihat sebuah kota yang pencakar langitnya mengalahkan kota-kota di Amerika.
Kebetulan pula, Hongkong menjadi kantor regional Asia Pasifik perusahaan saya bernaung, namun justru belum pernah saya kunjungi. Sehingga ketika Tiger Air mengumumkan tiket promo, saya langsung tertarik membelinya.
Di bulan Desember itu, untuk tiket bulan Februari, saya mendapatkan harga 1 rupiah, ya… hanya 1 rupiah! untuk rute Jakarta-Hongkong dan 1,25 juta rupiah untuk rute kembali Hongkong-Singapura-Jakarta. Harga yang sangat murah dibanding harga normal tiket Jakarta-Hongkong PP, yakni sekitar 5 juta rupiah.
Selesai membeli tiket, saya langsung mencari hotel. Ternyata tidak sulit menemukan hotel di Hongkong. Maklum saja, Hongkong terkenal sebagai salah satu negara tujuan favorit para turis. Saya kembali berpegang pada prinsip saya mencari hotel: dekat dengan transportasi umum (tidak perlu banyak berpindah jalur/kendaraan) dan setidaknya memiliki nilai rekomendasi 4 dari 5.
Akhirnya saya memutuskan untuk memilih Ah Shan Hostel di daerah Mongkok. Mongkok sendiri adalah pusat kota dan belanja di Hongkong dan Ah Shan Hostel ini menjadi salah satu yang paling direkomendasikan oleh Trip Advisor serta hanya berjarak 1 blok dari stasiun Mongkok.
Kemudian mengenai visa? Tidak perlu. Pemegang paspor Indonesia tidak memerlukan visa untuk tinggal di Hongkong sampai 30 hari sejak kedatangan. Jadi selesai sudah, semua persiapan selesai dan saya tinggal menunggu bulan Februari untuk berjalan-jalan di Hongkong.
Kali ini untuk pertama kalinya, saya menjadi solo traveler alias bepergian sendiri, meskipun di Hongkong nanti akan bertemu seorang teman dan makan siang dengan beberapa kolega kantor.
Was-was Menggunakan Penerbangan LCC
Seminggu sebelum keberangkatan, berita yang mengejutkan muncul, Tiger Mandala (anak usaha Tiger Air yang beroperasi di Indonesia) menutup sejumlah rute, termasuk ke Hongkong. Namun penutupan rute hanya dilakukan pada penerbangan yang menggunakan pesawat Tiger Mandala, tidak untuk pesawat Tiger Air Singapura. Saya segera cek tiket dan ternyata penerbangan Jakarta-Hongkong saya menggunakan Tiger Mandala! Namun beruntung, penutupan terjadi per 1 Maret sehingga tiket sya masih aman. Dua teman saya yang di pertengahan Mei juga pergi ke Hongkong sempat was-was, namun akhirnya bisa bernapas lega saat Tiger Air Singapura menampung semua tiket Tiger Mandala yang dibatalkan.
Akhirnya hari H saya berangkat. Untuk pertama kalinya, saya berangkat ke luar negeri melalui Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta setelah biasanya dari Terminal 2. Maka di Terminal ini, e-paspor saya yang biasanya berguna –membuat saya tidak perlu antre dan menghadapi petugas imigrasi– menjadi tidak berguna karena alat pembaca e-paspor belum tersedia di Terminal 3. Antrean panjang seperti saya tebak sebelumnya, menjadi kenyataan. Sambil membayangkan liburan, saya memilih tidak memikirkan antrean yang super lama ini.
HKIA yang Luar Biasa Besar
Dus, perjalanan 5 jam dan saya akhirnya tiba di Hongkong International Airport (HKIA). Saya sempatkan melihat sejenak dan mengagumi besarnya bandara ini. HKIA memiliki nomor gate terbang dari 1 s.d. 80 dan 501 s.d. 508. Maka saya bergumam, pantas saja bandara ini dinobatkan menjadi bandara keempat terbaik di dunia –menurut saya kalah dari Changi karena kurang hiburan gratis untuk pengunjung, kalah dari Incheon karena terlalu besar dan kurang compact, dan saya tidak tahu kalau dibandingkan dengan Munich. Sudah seluas ini, HKIA masih saja memperluas bandaranya untuk menampung lebih banyak trafik pesawat dan penumpang.
Selanjutnya seperti bandara besar lainnya –tapi sayangnya Soetta belum ada, saya mengambil kereta untuk keluar dari bandara dan langsung menuju Mongkok Station. Tak sampai setengah jam, kereta sudah sampai, saya turun dan cukup berjalan 2 menit menuju ke penginapan.
Ternyata benar bahwa Hongkong adalah kota dengan pencakar langit terbanyak di dunia. Bahkan rumah, tokok, restoran pun semuanya berada di gedung-gedung bertingkat. Ah Shan Hostel yang saya pesan merupakan salah satu unit apartemen (atau rumah susun) di sebuah bangunan. Luas Ah Shan saya perkirakan hanya sekitar 30 meter persegi dan terbagi dalam 3 kamar, 1 ruang tamu, dan 1 kamar mandi. Saya –sesuai pesanan– mendapat 1 kamar pribadi dengan 1 kasur. Estimasi saya, kamar ini hanya berukuran 7,5 meter persegi. Namun kamar saya ini tertata rapi dengan kasur, lemari kecil, meja kecil, dan televisi. Maka saya langsung bisa berkata, Ah Shan memang pantas direkomendasikan: pelayanan ramah, super bersih, dan dekat dengan pusat keramaian serta stasiun. Saya kemudian beristirahat sejenak untuk bersiap mulai jalan-jalan di malam hari hingga 4 hari ke depan.
Sesaknya Hongkong
Jalan-jalan di Hongkong pun dimulai dan satu hal yang menarik perhatian saya, Hongkong memiliki wi-fi gratis di mana-mana, sehingga saya tidak perlu takut untuk tidak mengaktifkan data roaming. Hal kedua: Luas wilayah Hongkong kecil namun penduduknya super banyak. Di hari kerja saat orang menuju tempat kerja menggunakan subway, lautan manusia keluar dari pintu subway seperti layaknya ribuan orang mau berdemonstrasi di Jakarta. Bedanya? Mereka berbaju kerja necis dan berjalan cepat. Saat saya berjalan ke arah yang berbeda dari orang-orang ini? Maka saya harus merapat ke sebelah kiri atau bersiap diterjang oleh mereka. Plus saran saya, jangan lupa juga beli unlimited subway tiket supaya lebih mudah dan murah. Ketika itu, saya membeli 5-day pass.
Selama 5 hari itu, saya berjalan-jalan mengikuti “5 days in Hongkong” yang bisa dengan mudah ditemukan oleh Mbah Google. Mesin pencari ini akan memberikan hasil yang sangat beragam dan tinggal dipilih. Saya ke sana kemari, mengunjungi hotspot wisata Hongkong. Saya hanya akan menceritakan 3 hal paling menarik yang saya lakukan, dua di antaranya bersama teman yang saya temui di Hongkong.
Lokasi wisata sisanya? Saya tidak akan bercerita. Anda harus mengunjungi tempat itu sendiri. Kalau saya ceritakan, nanti Anda akan memiliki imajinasi berlebihan dan kalau kenyataannya tidak sesuai, maka Anda akan kecewa. Jadi sebaiknya Anda langsung pesan tiket ke Hongkong saat ini juga dan rasakan sendiri pengalamannya. Rasakan pengalaman Avenue of the Star dan tarian sinarnya di malam hari, distrik Central, Patung Budha terbesar, dan lain sebagainya.
Cerita menarik pertama adalah saat saya diajak kolega saya makan bebek di daerah Central. Mereka bilang ini restoran bebek terenak di Hongkong. Berhubung saya tidak pernah bisa membedakan mana makanan enak dan tidak enak, ya rasanya sih sama saja. Mungkin bagi pecinta makanan, akan beda rasanya. Di sini saya mencoba juga apa yang disebut dengan “telur seribu tahun”. Bentuknya tentu seperti layaknya telur, namun warnanya hitam bening dengan kuning telur berwarna emas. Rasanya? Saya tidak bisa mendeskripsikan dengan pasti, antara gurih, manis, dan rasa telur asin. Anda bisa langsung ke Hongkong dan mencobanya sendiri.
Cable Car Menuju Puncak
Yang menarik kedua ialah saat saya mengunjungi Ngong Ping. Dibanding menggunakan bus, saya memilih menggunakan cable car karena ingin merasakan pengalaman berbeda. Ketika berangkat dari Hongkong menuju Pulau Ngong Ping, saya bersama 4 orang lainnya menikmati pemandangan dari cable car. Saya membayangkan masyarakat Jakarta menggunakan cable car seperti ini untuk menuju Puncak atau Kepulauan Seribu. Kalau ada cable car ke Puncak dari Cibubur atau Sentul misalnya, pasti jalanan ke Puncak tidak akan macet seperti sekarang.
Selesai mengitari Ngong Ping, saya pun kembali menggunakan cable car turun menuju kota. Bedanya dari saat tadi berangkat, kali ini saya sendirian! Cukup deg-degan juga membayangkan seandainya cable car ini berhenti di tengah jalan atau jatuh. Jadi saya menjauhkan diri dari imajinasi itu dengan mengambil foto pemandangan sebanyak mungkin, berulang kali.
Kemudian akhirnya saya tiba di malam terakhir saya di Hongkong. Malam itu, saya berkesempatan bertemu dengan kakak kelas saya, JMH. Saya ingat, kami bertemu terakhir kali di tahun 2010 saat saya berjalan-jalan ke Paris pasca menjadi pembicara di London. Saat itu saya baru saja selesai sidang skripsi dan dia sedang menempuh studi di Prancis. Time really flies! Saat ini, ia bekerja di perusahaan Prancis yang memiliki kantor cabang di Hongkong.
Bercerita panjang lebar sembari makan sejenis shabu-shabu terenak di Mongkok, dia tidak merekomendasikan saya untuk memilih kerja di Hongkong apabila ingin kerja di luar negeri. Ia menyarankan saya untuk lebih baik memilih Singapura –seperti banyak diketahui, Hongkong dan merupakan dua global city di Asia.
Sambil terus makan dan terus makan karena saya tidak ingin terkena masuk angin akibat ketika keluar restoran dan kena angin musim semi Hongkong. Oh iya, restoran ini ada di bangunan pencakar langit juga, di lantai berapa saya lupa. Tidak mungkin ada di Indonesia restoran super berasap seperti ada di dalam gedung pencakar langit. Dan… itu berarti memang segala macam tempat yang biasanya berpijak ke tanah, di Hongkong ini, semuanya melayang secara vertikal.
HKIA & Changi sebagai Tempat Wisata
Akhirnya selesai sudah perjalanan saya di Hongkong. Di hari keenam, pagi-pagi saya sudah bergerak ke bandara karena saya ingin mengelilingi HKIA; kembali ingin tahu seluas apa bandara ini. Dan setelah berkeliling, kemudian naik pesawat dan transit di Changi.
Nah ketika transit di Changi, saya menyempatkan berkeliling bandara, ke semua terminal dan menemukan taman bunga matahari yang super cantik di Terminal 3. Lagi-lagi, saya membayangkan hal ini ada di Indonesia, Soetta ramah pada para pelancong. Naik pesawat lagi dan akhirnya saya mendarat di Soetta, di Terminal 2! Jadilah saya tidak perlu antre di konter imigrasi; cukup pakai mesin pembaca e-paspor, langsung keluar dan bisa mencegat taksi lebih dahulu sebelum semua penumpang lain keluar.