Uncategorized

Membeli Surga Ketika Kita Masih dalam Perjalanan di Dunia

Apakah kita selalu berupaya membeli surga saat kita masih dalam perjalanan di dunia karena merasa berdosa dan takut jiwa kita akan menuju neraka saat meninggal nanti?

Salah satu film yang beberapa kali saya tonton karena ceritanya yang menarik, berjudul Constantine (2005, disutradarai oleh Francis Lawrence, dengan tokoh utama Keanu Reeves sebagai Constantine). Film tersebut menceritakan bagaimana Constantine memiliki anugerah khusus untuk bisa melihat malaikat dan setan, bahkan memanggil atau mengusirnya dari dunia manusia.

Tugas utama Constantine dalam film tersebut adalah menjaga keseimbangan antara malaikat dan setan. Ia menjadi “petugas” yang memastikan bahwa kedua kubu ini hanya dapat mempengaruhi manusia dan tidak dapat secara langsung bertindak secara nyata dalam dunia manusia. Constantine menerima tugas ini sebagai bagian dari kesepakatan untuk membeli jalan ke surga. Ia harus membelinya karena pada saat remaja, ia pernah melakukan bunuh diri, meski akhirnya hidup kembali. Apabila ia gagal dalam tugasnya, maka ketika ia meninggal, jiwanya akan langsung menuju neraka. Bahkan Lucifer sebagai raja neraka, dengan senang hati akan datang sendiri menyeret nyawa Constantine menuju neraka saat ia meninggal.

Pada akhirnya, upaya membeli surga tadi hampir gagal karena Constantine melakukan semua tugasnya hanya demi surga yang yang ia inginkan, bukan demi kebaikan semua alam. Ia pada akhirnya mendapat surga saat ia melakukan bunuh diri. Lucifer juga benar-benar datang sendiri mengambil jiwanya. Namun karena Constantine mengambil nyawanya sendiri demi menyelamatkan satu orang, Tuhan pun memberika surga -walau kemudian Lucifer tidak terima dan membuat Constantine kembali hidup sebagai manusia sebelum bisa mencapai surga.

Membeli Surga dalam Keseharian Kita

Apakah kita berbeda dengan Constantine tadi? Seperti pada pembuka artikel ini: Apakah kita selalu berupaya membeli surga saat kita masih dalam perjalanan di dunia karena merasa berdosa dan takut jiwa kita akan menuju neraka saat meninggal nanti?

Saya tidak tahu dengan Anda, tetapi saya akui bahwa saya sendiri sering melakukannya. Saya merasa perlu melakukan kebaikan ini-itu untuk menyeimbangkan “timbangan” dosa. Apakah tabungan kebaikan saya tadi cukup untuk melunasi dosa yang saya lakukan, saya pun tidak pernah tahu. Apakah Yang Maha Kuasa menganggap yang saya lakukan ini sebagai sebuah keikhlasan dan justru bukan egoisme seperti Constantine tadi, saya pun tidak pernah tahu.

Beberapa teman saya cukup terbelah dengan persoalan “tabungan” dan “hutang” ini. Ada beberapa teman yang menganggapnya layak untuk dilakukan, demi menjaga keseimbangan. Bahkan kalau bisa, kita harus memiliki lebih banyak “tabungan” sehingga memperbanyak upaya pembelian surga adalah koentji.

Ada pula teman yang berpendapat bahwa dua hal tersebut tidak berhubungan. Ibarat ujian, kebaikan yang kita lakukan merupakan nilai hitam sebuah mata pelajaran, sedangkan dosa adalah nilai merah mata pelajatan lain yang kita harus mengambil remidial-nya. Nilai hitam suatu mata pelajaran tidak akan menjadi penambah nilai merah mata pelajaran lain; kita harus tetap mengambil ulang dan memperbaiki.

Pendapat ketiga tidak kalah menarik, yakni bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Hal baik ataupun buruk, hanya bisa terjadi apabila Ia memberikan “lampu hijau”. Dalam arti lain, manusia hanyalah wayang yang tidak memiliki pilihan selain digerakkan oleh dalang; sehingga mereka tidak perlu berpikir mengenai timbangan “tabungan” dan “hutang tadi. Jalani saja setiap harinya dengan kalem, kalau kata teman saya.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Saya bisa pastikan bahwa saya tidak dapat memberikan jawaban pasti kepada Anda. Semuanya kembali pada keyakinan kita masing-masing. Satu hal yang pasti saya yakini, seperti terjadi pada akhir film Constantine tadi; kalau Anda ingin melakukan kebaikan, just do it.

Kita tidak perlu berpikir apakah kebaikan yang kita lakukan menjadi penyeimbang “hutang” dosa, nilai hitam yang terpisah dari nilai merah, atau memang sudah takdirnya seperti itu. Just do it, biarkan orang-orang sekitar kita merasakannya. Sisanya? Biarkan ia tetap menjadi misteri kehidupan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *