Uncategorized

Menata Kembali Manajemen Komunikasi Publik Pemerintah

Belajar dari kebijakan memutuskan adanya pelarangan mudik Lebaran 2021, pemerintah perlu menata manajemen komunikasi publiknya agar tidak kembali acak adut. Pada masa pelarangan saat itu, selain sejak awal aturan-aturan yang ada bersifat kontradiktif, bagaimana aturan-aturan tadi disampaikan ke masyarakat, telah menimbulkan chaos informasi dan implementasi di lapangan.

Pemerintah pada Jumat (26/3) resmi mengeluarkan kebijakan larangan mudik Lebaran 2021 setelah sebelumnya Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menggelar Rapat Koordinasi (Rakor). Kebijakan tersebut keluar sebagai upaya pemerintah dalam mengendalikan penyebaran Covid-19.

Sejalan dengan kebijakan pelarangan mudik Lebaran yang berlaku 6-17 Mei 2021, Budi Karya Sumadi selaku Menteri Perhubungan menuturkan koordinasi untuk melakukan pembatasan pergerakan transportasi. Salah satunya bersama Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri dengan penyekatan jalan di sejumlah titik guna mengendalikan pergerakan transportasi darat. Tidak hanya itu, operasional kereta api dan transportasi jalur laut juga tidak luput dari pembatasan.

Kontradiksi Aturan Antar Kementerian serta Pusat dan Daerah

Di sisi lain, Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk memfasilitasi obyek wisata saat libur lebaran. Kebijakan ini sontak menjadi sorotan masyarakat.  Bagaimana tidak, kebijakan pembukaan objek wisata jelas kontradiktif dengan kebijakan larangan mudik sebagai upaya pengendalian laju penyebaran Covid-19.

Pemerintah berdalih salah satu pertimbangan adanya kebijakan pembukaan objek wisata lokal tersebut adalah upaya pemerintah dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah berharap, kebijakan wisata lokal, mampu menekan laju pertumbuhan Covid-19, sekaligus tetap menjamin berjalannya perekonomian masyarakat. Kebingungan masyarakat pun berlanjut tatkala beberapa pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) banyak membuat aturan sendiri. Penutupan wilayah lebih awal atau akhir di luar periode pelarangan total, juga mudik lokal satu provinsi menjadi dua contoh kebijakan.

Tak heran, kebijakan yang tumpang tindih, tidak mampu membendung keinginan masyarakat untuk tetap melakukan perjalanan mudik. Hal ini terungkap dari survei pasca penetapan peniadaan mudik selama masa lebaran 2021 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan. Survei menunjukkan masih adanya kelompok masyarakat yang hendak mudik pada rentang waktu H-7 dan H+7 pemberlakuan peniadaan mudik lebaran 2021. Hasil survei pun mengungkap 11% responden atau sekitar 27,6 juta orang memilih tetap mudik meskipun terdapat larangan mudik.

Amandemen dan Himbauan yang Memperparah Keadaan

Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah Pusat melalui Satgas Covid-19 mengeluarkan Adendum Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Namun, alih-alih memberikan pemahaman konkret, Pemerintah Pusat pada konferensi pers (22/4) justru menjelaskan tentang larangan mudik pada masa pengetatan perjalanan. Padahal, surat edaran Adendum yang ditandatangani Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo pada Rabu (21/4) dengan eksplisit mengatur pengetatan persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) selama H-14 peniadaan mudik (22 April – 5 Mei 2021) hingga H+7 peniadaan mudik (18 Mei – 24 Mei 2021). 

Polemik ihwal kebijakan larangan mudik kemudian berlanjut ketika Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden melalui juru bicara Masduki Baidlowi (23/4) mengeluarkan himbauan khusus bagi para santri agar mendapat pengecualian larangan mudik. Wapres meminta adanya dispensasi karena para santri yang belajar di pesantren hanya mendapatkan libur untuk pulang ke rumah sekali dalam setahun yakni saat momen perayaan Hari Raya Idul Fitri. Tak pelak, himbauan dispensasi bagi santri untuk tetap bisa mudik mendapat berbagai reaksi dari berbagai pihak. Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara terang-terangan mengatakan tak sepakat dengan dispensasi tersebut dan meminta santri tetap mematuhi larangan mudik.

Ketidakjelasan Aturan dan Disparitas Implementasi di Lapangan

Beberapa daerah menutup akses jalan bagi pendatang tanpa Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) meski tidak ada dalam peraturan Pemerintah Pusat. Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, sejak Senin (26/4) memperketat penjagaan perbatasan Aceh-Sumatera Utara. Petugas memutar balik warga yang tidak memiliki surat bebas Covid-19 dan SIKM. Sebelum kemudian menjadi larangan total, di luar delapan wilayah yang boleh melaksanakan mudik lokal, terdapat beberapa gubernur yang mengizinkan warganya untuk melakukan mudik lokal, seperti Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan. Pada akhirnya, para gubernur membatalkan kebijakan mereka setelah ada himbauan dari Ketua Satgas Penanganan Covid-19 serta teguran Menteri Dalam Negeri. Terlihat jelas, pemerintah pusat dengan para kepala daerah tidak seragam dalam hal manajemen wisatawan. Aturan-aturan tentang mudik lokal, mudik antar wilayah aglomerasi, ataupun mudik antar wilayah dalam satu provinsi, tidak jelas konsep dan implementasinya.

Kebingungan masyarakat menjadi semakin parah dengan kabar masuknya lebih dari 100 orang warga negara (WN) India melalui Bandara Soekarno Hatta. Para WN India tersebut masuk di saat pemerintah Indonesia sedang memperketat pergerakan masyarakatnya sendiri. Masyarakat resah mengingat India sedang menghadapi variasi dan gelombang baru Covid-19 yang ganas. Pihak Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta kemudian membenarkan masuknya WN India dengan dasar bahwa mereka memiliki perizinan yang sesuai. Para WN India memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) atau kepemilikan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap). Kementerian Kesehatan pada Jumat (23/4) kemudian menyatakan bahwa dari sejumlah WN India itu, dua belas orang positif Covid-19. Pemerintah kemudian menutup total masuknya penerbangan dan WN India (25/4) akibat tekanan masyarakat dan setelah banyak negara melakukan kebijakan serupa.

Kebingungan Akibat Informasi Simpang Siur dan Melimpah

Semua runtutan peristiwa ini menjadi dasar kuat bagi masyarakat untuk mengalami kebingungan memproses informasi dari pemerintah. Diprediksi banyak pihak sejak awal, hal semacam inilah yang terjadi jika sebuah kebijakan dibuat tanpa disertai dengan mekanisme pelaksanaan yang jelas. Terlebih lagi, pernyataan kontradiktif dari pejabat publik terkait kebijakan pelarangan mudik mengikuti penyampaian informasi tersebut. Tidak berlebihan jika kemudian kita mengatakan bahwa pemerintah terkesan terburu-buru dalam merumuskan kebijakan ini, serta penuh dengan keragu-raguan dan inkonsistensi.

Pemerintah sepertinya tidak belajar dengan baik mengenai manajemen komunikasi yang terjadi pada penanganan Covid-19 di awal 2019 lalu. Kebijakan-kebijakan yang bias makna, kontradiktif, bahkan sering menyepelekan, disampaikan ke masyarakat dan menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Pada tahap yang lebih serius, masyarakat gagal menerima informasi yang utuh dan justru melakukan tindakan kontra kebijakan pemerintah.

Perlunya Menata Kembali Manajemen Komunikasi Pemerintah

Keberhasilan penerapan kebijakan suatu lembaga tentu erat kaitannya dengan proses komunikasi yang berlangsung di dalamnya, yakni bagaimana pemerintah (pusat/daerah) mampu menata manajemen penyampaian kebijakannya terhadap masayarakat. Pejabat maupun juru bicara pemerintah perlu memiliki pemahaman yang baik tentang manajemen komunikasi, terutama yang terkait dengan kegiatan komunikasi untuk mempengaruhi sikap (attitude), pemahaman (understanding), dan perilaku (behavior) birokrasi serta masyarakat.

Terkait dengan manajemen komunikasi pemerintah dalam masa pandemi seperti ini, Pemerintah Pusat seharusnya membuat aturan yang berlaku secara nasional dengan sistem one-gate communication atau sistem komunikasi satu pintu. Dalam implementasi teknis, semua komunikasi publik berasal dari satu sumber yang sama. Saat ini terlalu banyak juru bicara pemerintah serta pejabat publik yang bisa memberikan pernyataan pada media massa. Bahkan dengan inti pesan yang sama pun, terlalu banyak sumber pernyataan cenderung memunculkan risiko kesalahan informasi.

Semua Berawal dari Manajemen Kebijakan Publik

Komunikasi publik pun harus memuat informasi kebijakan yang bersifat final dan jelas agar tidak menimbulkan bias makna di masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang masih digodok, direncanakan, atau belum divalidasi oleh lembaga kredibel seyogyanya tidak perlu disampaikan kepada masyarakat luas di saat sekarang ini, kecuali memang menjadi bagian dari pengumpulan pendapat publik. Bias makna komunikasi berpotensi menimbulkan kegaduhan dan berdampak erat pada public distrust atau berkurangnya kepercayaan publik pada pemerintah.

Komunikasi publik pada hakekatnya adalah proses penyebaran informasi dan penerimaan informasi oleh pemerintah kepada dan dari publik. Sistem komunikasi publik satu pintu ini tetap harus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feedback atau public opinion, sehingga masyarakat tetap (merasa) terlibat dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah harus mau mendengar masukan masyarakat, merasakan langsung kegelisahan dan dalam konteks pandemi saat ini, kesulitan mereka. Pembuatan kebijakan pemerintah tidak boleh bersifat menara gading, top-down menyuruh masyarakat dan mengancam mereka dengan sanksi, tetapi juga harus memberikan solusi praktis serta nyata.

Epilog

Maka kini dan selanjutnya, sudah seharusnya pemerintah melakukan harus menata kembali manajemen komunikasi publiknya. Terlebih, di era digital seperti sekarang ini, informasi dapat tersebar dengan cepat dengan beragamnya tanggapan masyarakat yang muncul. Pemerintah perlu memiliki tata kelola komunikasi birokrasi pemerintahan berdasar pada peran dan fungsi komunikasi publik yang jelas. Pemerintah pun harus menentukan dengan baik elemen-elemen inti kegiatan komunikasi: apa yang disampaikan, apakah harus disampaikan, mengapa disampaikan, untuk siapa, kapan, bagaimana, melalui channel apa, serta apa perkiraan efek penyampaiannya. Rencana ini perlu dengan lengkap menetapkan tujuan, target, isi informasi, waktu penyampaian, metode, media, serta saluran komunikasi, dengan mempertimbangkan kondisi demografi masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *