Ternyata sudah satu bulan saya belum menulis di blog ini. Mungkin saya terlalu sibuk atau kurang mengamati, sehingga belum ada coretan apapun.
Pagi ini (tadi -karena tulisan ini baru sempat saya final edit dan upload) mumpung saya agak pagi berangkat ke kantor dan tampaknya tidak ada yang urgent di pagi hari, maka saya ingin menuliskan pengamatan saya terhadap kelakukan saya sendiri: akhir-akhir ini saya malas menonton televisi atau membaca koran/majalah/artikel bertema berat. Tema berat yang saya maksud adalah hal-hal terkait analisis ekonomi atau politik. Hal-hal tadi mengharuskan otak saya untuk berpikir, mencerna apa maksudnya dan membuat saya harus mengambil sikap/pemikiran.
Saya jadi memilih menonton film-film, kartun, videoklip lagu, ataupun liputan jalan-jalan. Kenapa itu bisa terjadi? Saya sepertinya memiliki tiga alasan -setidaknya berdasar analisis saya sendiri ketika berdiri di Kopaja 602 sepanjang pagi ini.
Arus Informasi yang Berlebihan
Tampaknya setiap hari, saya mendapatkan beragam informasi mengenai ekonomi, politik, bisnis, atau apapun tema berat itu, dari beragam sumber. Arus informasi ini saya dengar di pembicaraan orang yang tak saya kenal, obrolan ketika makan, newsticker, radio, headline news, share di social media, dan masih banyak lagi. Informasi yang mengalir tadi pun berbeda, berganti, bertambah berat setiap detiknya.
Saat baru mendapat suatu informasi dan berusaha mencernanya, saya dipaksa menerima informasi baru. Jadilah saya dipaksa menyerap informasi baru ini dan berusaha mencernanya secara simultan. Melelahkan sekali sepertinya dan mungkin otak saya kemudian memberikan perintah: “Masa bodoh dengan semua hal ini, saatnya kita cari hal yang tak perlu membuatku bekerja terlalu berat.”
Efek Materi dari Klien
Analisis lain saya, kemalasan saya ini berhubungan dengan rutinitas pekerjaan. Mulai awal tahun ini, saya berpindah pilar pekerjaan. Pilar itu sendiri adalah pengelompokan expertise atau industri klien. Jika saya sebelumnya saya ada di public affairs -lebih berorientasi sosial kemasyarakatan dan perubahan paradigma masyarakat, maka kini saya berada di corporate, finance, and healthcare. Nama pilarnya saja sudah membuat saya pusing sendiri. Di pilar baru inilah saya kemudian harus banyak membaca dan belajar hal-hal rumit. Belum lagi, industri keuangan dan kesehatan di Indonesia selalu membanggakan dirinya: “Kami ada di industri yang highly-regulated, sehingga semuanya harus ikut aturan A, ikut mekanisme B, bertindak sesuai dengan norma C, dll. dll.”
Padahal menurut tes otak yang pernah saya lakukan, saya ini kuning (berpikir abstrak, konsep besar, imajinatif), biru (rasional), dan merah (sosial, peduli). Warna hijau (struktural, step by step, menuruti aturan) mendapat porsi yang kecil sekali di otak saya.
Jadi mungkin otak saya sedang bertengkar secara internal. Si kuning, biru, dan merah bisa saja bilang begini: “Eh hijau, kamu ini sekarang 8 jam sehari udh menguasai tubuh orang ini. Kalau dia tidur 7 jam sehari, berarti cuma tersisa 9 jam buat dibagi ke kami bertiga. Belum lagi kalau harus kerja lembur, kamu bisa dapat 12 jam sendirian dan kami bertiga masing-masing cuma 2 jam.”
Jadilah si mayoritas tidak mau diganggu oleh si minoritas dan jadilah saya begitu ada waktu break akan menghindarkan diri dari masalah berat seperti ekonomi atau politik yang membutuhkan analisis tadi.
Memang Malas
Atau malah bisa jadi mengapa saya malas melihat, mendengar, dan membaca topik berat tadi; karena memang saya merasa malas. Malas saja, tidak ada penyebabnya, tidak perlu dianalisis. Mungkin orang lain yang akan menganalisis kemalasan saya, dan saya cukup menunggu masukan dari orang lain tadi tentang mengapa saya malas serta bagaimana mengatasinya.
Maka itulah tadi tiga analisis terhadap diri saya sendiri. Untunglah sebentar lagi libur Lebaran dan saya akan libur selama 15 hari. Bisa lah saya me-refresh otak saya supaya apapun alasan kemalasan saya, bisa hilang pasca liburan.
Ups, jangan-jangan epilog ini malah sesungguhnya alasan saya malas akhir-akhir ini.