Uncategorized

Menyeberang Jalan Sembarangan dan Anti-Gojek/Grabbike : Memahami Ketidakteraturan

Tulisan ini tidak bermaksud mendukung ataupun menolak tiap subyek yang disebut dalam judul. Sehingga yang tertulis dalam artikel ini tidak menggambarkan preferensi saya. Tulisan ini hanya mencoba menggali sisi lain dari ketidakteraturan.

Mengapa saya tertarik menulis ketidakteraturan? Karena per hari ini, saya menjadi manusia yang tidak teratur, saya memulai masa liburan saya. Jika biasanya saya teratur bangun jam enam pagi, maka di saat liburan ini saya bisa sesuka hati. Kalau saya dua minggu sekali mengisi blog ini, maka sekarang saya bisa seminggu dua kali.

Ketidakteraturan

Tidak teratur tentu lawan kata dari teratur. Mengapa manusia menjadi tidak teratur; bisa jadi karena ia tidak ikut membentuk aturan yang ada sehingga tidak merasa terikat dengan peraturan itu. Manusia menjadi tidak teratur juga bisa karena aturan atau pengatur sudah kadaluarsa, tidak sesuai perkembangan zaman. Pun bisa juga karena manusia sudah bosan menjadi teratur sehingga mau mencoba sedikit tidak teratur.

Atau alasan lain, seperti pengalaman saya berikut ini.

Menyeberang Jalan Sembarangan

Saya tiap hari menggunakan Kopaja AC 602 untuk berangkat kerja. Kopaja ini bisa (atau harus?) berhenti di halte dan melewati jalur Bus Transjakarta. Kopaja AC pun bisa menaik-turunkan penumpang di mana saja kapan saja, tidak harus di Halte Transjakarta. Kopaja AC akan menggunakan pintu kiri apabila mengambil atau menurunkan penumpang di Halte Transjakarta. Sangat berbahaya memang apabila menaik-turunkan penumpang di tengah jalan karena tentu tidak menggunakan jembatan penyeberangan dan harus menembus lalu lintas. Masih lebih aman apabila Kopaja tadi berhenti di lampu merah sebuah pertigaan/perempatan, penumpang bisa menyeberang di zebra cross untuk naik.

Suatu hari ada seorang Ibu yang naik dari pintu kiri Kopaja, tidak saat berhenti di lampu merah. Ibu ini naik dari pintu kiri saat bus berhenti di Halte Transjakarta – Pejaten Philips. Ibu tadi meminta tolong saya membawakan dan meletakkan tasnya terlebih dahulu -ketika ini, saya berdiri di dekat pintu ia masuk. Setelah tas tadi saya ambil, Ibu tadi kemudian naik bus.

Dua puluh menit kemudian, bus yang saya naiki dari Jatipadang sudah sampai di depan Menara Jamsostek dan bersiap merapat ke Halte Transjakarta di seberangnya. Ternyata si Ibu mau turun juga, tapi kali ini lagi-lagi ia mau turun dari pintu kiri. Bagi yang tahu trafik lalu lintas Jalan Gatot Subroto Jakarta di pagi hari, tentu bisa membayangkan bagaimana susah dan berbahayanya seseorang menyeberang tidak menggunakan jembatan penyeberangan.

Saat si Ibu mencoba menembus sesaknya penumpang –challenge lain sebelum turun bus, ada penumpang lain berkata, “Bu, lewat jembatan saja biar aman.”

Reason Behind Action

Ibu tadi pun menjawab, “Iya Pak saya maunya juga begitu. Tapi kaki saya ini pakai leker (ini yang saya dengar, belum menemukan ejaan yang benar meski googling), susah banget buat jalan apalagi naik-turun. Ini aja saya udah minta tolong si neng buat bantuin saya turun tangga bus itu.”

Mendadak terpikir di kepala saya:
1. Si Ibu tadi sudah tidak duduk selama dua puluh menit karena kursi penuh diisi seorang wanita hamil, bapak-ibu tua yang lebih tua dari si Ibu, dan dua atau tiga orang tertidur.
2. Dengan si Ibu kakinya pakai leker -dan saya baru sadar kenapa dia tadi kepayahan naik bus kemudian naiknya miring, tidak lurus melangkahkan kaki, berdiri dua puluh menit, pasti capek dan sakit sekali.
3. Jembatan penyeberangan, baik yang menyambung atau tidak menyambung Halte Transjakarta, tidak ada yang aktif memiliki lift atau eskalator. Belum lagi jembatannya mengular ke sana ke mari panjang sekali. Tentu dengan keterbatasan yang dimiliki, Ibu tadi kemudian memilih tidak menggunakan tangga dan jembatan.

Anti-Gojek/Grabbike

Belakangan ini media sosial banyak diramaikan dengan pemberitaan penolakan tukang ojek pangkalan terhadap supir ojek GO-JEK dan Grab Bike. Apabila kita harus melakukan tawar-menawar manual dengan ojek pangkalan, maka Gojek dan Grabbike menawarkan harga yang sudah pasti karena nilai transaksi sudah dihitung saat memesan, baik via telepon maupun aplikasi mobile. Belum lagi Gojek menawarkan hal lain: bisa membelikan ini itu bagi pemesannya. Sungguh klop dengan sifat malas warga Jakarta -meskipun siapa duluan yang malas atau membuat malas masih jadi perdebatan ayam/telur.

Penolakan tadi bahkan kabarnya berujung pada pembuatan spanduk, hingga kekerasan. Beragam alasan muncul, dari sifat iri hati (terlebih saat Gojek/Grabbike dipilih karena promo murahnya saat Ramadhan), kemalasan tukang ojek pangkalan mencari uang, atau keengganan tukang ojek pangkalan “insaf” dan tetap mengenakan tarif mahal.

Maka saya mencoba berandai-andai menjadi tukang ojek pangkalan. Berhubung saya belum pernah jadi tukang ojek pangkalan, sehingga pengandaian saya yang dibumbui dengan tanya jawab ke para tukang ojek, tidak bisa 100% benar. Ya setidaknya saya mencoba berpikir lain.

Another Reason Behind Action

Pertama, bisa jadi tukang ojek tadi memang tidak mau diatur, dalam artian tidak mau terikat dengan peraturan. Seberapa pun gaji besar tukang ojek Gojek/Grabbike, mereka kemudian menjadi di dalam sebuah sistem yang memiliki aturan ini itu, memiliki bos, yakni si pemilik Gojek/Grabbike. Padahal dasar mereka menjadi tukang ojek adalah karena tidak mau tunduk pada seorang bos.

Kedua, tukang ojek mungkin pikiran/nasibnya sama seperti masyarakat asli suatu daerah/negara. Suatu peradaban yang lebih maju datang, mencoba memaksakan peradaban itu karena menurut dia dan mayoritas dunia, peradaban baru yang lebih maju ini lebih baik daripada peradaban asli yang primitif. Kini banyak orang membela masyarakat asli Papua dari tatanan Jawa atau perusahaan global yang oleh masyarakat dinilai lebih beradab. Orang membela Suku Indian dan Aborigin, mencoba memahami kenapa mereka memilih menjauh dari kemajuan zaman. Meski di sisi lain, negara tempat dua suku tadi sering merasa suku asli ini sudah diatur, tidak mau menerima sistem baik yang mereka ciptakan. Maka jangan-jangan tukang ojek pangkalan tadi adalah suku asli Papua, Aborigin, atau Indian.

Ketiga, tukang ojek pangkalan malah bisa jadi adalah pejuang anti-kapitalisme sejati. Mereka tidak mau uang mereka dipotong dan dikumpulkan kepada si pembuat sistem, meski pembuat tadi memberikan benefit balik baginya. Para tukang ojek ini mungkin paham bahwa saat ia pro-kapitalisme, maka akan tercipta sistem menggurita yang mengikat semua orang ke dalam satu sistem. Bank-bank saja dulu super enggan menyetor biaya pengawasan ke OJK. Masyarakat negara mana yang tidak sewot saat tahu barang yang ia beli, sepersekian persennya ternyata masuk ke kantong perusahaan multinasional yang entah dimiliki siapa.

Fenomena Anti-Gojek/Grabbike sebenarnya sama dengan penolakan pemerintah daerah atau taksi lokal terhadap taksi Blue Bird. Sama persis bukan? Sebuah sistem canggih tidak akur dengan sistem primitif yang masih eksis.

Epilog

Keteraturan, setidaknya di Indonesia, terjadi karena ada hukum yang berlaku. Menjadi bagus saat orang taat hukum, artinya ia patuh pada peraturan dan menjadi orang yang teratur. Hukum menciptakan sistem yang teratur tadi.

Namun di luar hukum, ada hal bernama etika, norma, dan kebiasaan. Tiga hal ini dapat menjadi ketidakteraturan, terlebih saat ketiganya eksis lebih dulu. Jika secara arif disatukan, ketiga hal ini bisa mempercepat terciptanya keteraturan, transformasi mulus dapat terjadi. Tapi jika hukum atau keteraturan mengambil jarak, maka selain ketidakteraturan akan menghambat dan melawan, keteraturan yang diharapkan pun tidak akan bisa terjadi.

Salah satu cara mudah bersikap arif? Dua hal yang langsung ada di kepala saya: sapa semua orang dengan senyuman serta ucapkan maaf atau permisi saat pertama berinteraksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *