Saya jarang menulis hal serius dalam blog ini. Tapi kali ini saya tertarik untuk menulisnya karena mulai terasa sakitnya. Saya ingin menulis mengenai perlambatan ekonomi Indonesia. Namun saya tidak mau melakukan analisis yang muluk-muluk, apalagi menggunakan bahasa -istilah klien saya- menendang langit, alias mengawang-awang.
Riil Dampaknya
Saat ini di Jakarta, saya bekerja di sebuah konsultan komunikasi sembari membuka restoran kecil. Tiap bulannya, saya menyempatkan diri menyisihkan uang untuk berinvestasi di berbagai instrumen keuangan.
Apa yang saya sebut perlambatan ekonomi tadi, sangat terasa dampaknya di semua aktivitas saya. Itulah mengapa saya mengatakan bahwa perlambatan ekonomi Indonesia tampaknya benar-benar mulai mengkhawatirkan.
Pertama dari pengalaman saya menangani klien; hampir seluruh klien saya mengeluhkan perlambatan ekonomi. Tepat setelah mereka mengumumkan pencapaian ini itu di 2014 -dan membuat semuanya senang, mereka langsung curhat bagaimana sales mereka drop selama kuartal pertama dan kedua tahun 2015. Akibatnya? Saat ini banyak perusahaan melakukan revisi proyeksi semester dua tahun ini, melakukan pemotongan biaya di sana-sini. Termasuk juga, mencoba bernegosiasi dengan perusahaan saya, apakah kontrak bisa direvisi atau setidaknya dieksekusi tanpa biaya tambahan.
Di perusahaan saya sendiri, perlambatan ekonomi terlihat selain dari semakin sedikitnya klien kakap, juga penerimaan karyawan yang makin selektif. Belum lagi soal pengeluaran uang yang dijaga ketat. Saya beruntung perusahaan saya tidak pernah mau melakukan PHK. Saya tidak bisa membayangkan kalau mendadak saya kena PHK seperti ribuan pekerja perusahaan migas saat ini.
Ketiga, perlambatan ekonomi juga saya rasakan di restoran saya. Jika pada 2014 lalu, pembeli dengan wow-nya datang dan memesan ini itu, maka mulai kuartal kedua tahun 2015 ini, keadaan menjadi berbeda. Pengunjung dan jumlah pembelian tercatat berkurang, meski syukurlah saya masih bisa mendapat keuntungan. Tapi dampak perlambatan ekonomi ini memaksa saya menunda rencana kenaikan gaji karyawan dan investasi.
Pun begitu dari sisi investasi yang saya lakukan, hampir semua instrumen menawarkan imbal hasil yang lebih rendah dibanding 2014 -saya agak menyesal tidak investasi valas. Lagi-lagi, semua saya nilai akibat perlambatan ekonomi, termasuk terpuruknya rupiah. Mata uang Indonesia tercinta ini memang pernah terpuruk di 2013/2014, tapi itu hanya berlangsung singkat dan terjadi karena kesengajaan ingin menekan impor. Kali ini? Entahlah.
Epilog
Semoga hanya saya atau beberapa orang saja yang merasakan perlambatan ekonomi Indonesia. Namun kalau ternyata ratusan juta masyarakat Indonesia merasakan hal yang sama, maka Pemerintah perlu mengambil langkah segera, nyata, dan mujarab.