Siang tadi saya seharusnya menghadiri 2 (dua) acara pernikahan, si A dan si B. Dari hubungan pertemanan dan pergaulan, saya bertemu si A terakhir sekitar 8 (delapan) tahun lalu. Si A sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang mengikuti rendezvous ini itu. Kalau si B, bisa dibilang tiap 3 (tiga) minggu sekali kami bertemu dalam beragam acara.
Ketika ngobrol dengan beberapa orang, terselip kebingungan saya untuk hadir di acara yang mana. Saya tidak mungkin hadir di keduanya karena perbedaan jarak yang lumayan jauh. Beberapa orang tadi rata-rata mengatakan: “Ya jelas datang si B aja. Si A jarang ngumpul, biar aja ga ada yang dateng.”
Dalam Laut Bisa Diduga, Dalam Hati Siapa Tahu
Setelah beberapa perbincangan di atas, saya memutuskan untuk hadir di acara A. Ada 2 (dua) alasan mengapa saya memilih acara A. Pertama, lokasinya lebih dekat. Kedua, saya ingin menyambung silaturahmi.
Ya benar sekali, apa “gunanya” bertemu seseorang yang sering ditemui, dibanding menemui seorang kawan yang tidak bertemu hampir satu dekade? Saya tidak mau seperti silaturahmi para pejabat di saat Lebaran: merelakan tidak bersalaman dengan keluarga di Hari-H Lebaran untuk bersalaman dengan kawan Eselon 1. Padahal bapak dan ibu eselon tadi dijumpai tiap hari, sedangkan keluarga hanya setahun sekali.
Lagipula, seperti saya katakan di beberapa perbincangan tadi, “Siapa kita, bisa menilai seseorang tidak pernah hadir dalam kumpul-kumpul karena dia tidak berniat bersilaturahmi?” Bisa jadi ia tak hadir karena tuntutan pekerjaan di awal masa kerja, membuatnya tidak punya cukup waktu. Bisa juga ia tak hadir karena banyak urusan keluarga yang membutuhkan fokusnya. Malah-malah, seperti banyak teman TNI / Polri saya, mendadak ditugaskan di suatu tempat yang jauh.
Proaktif
Selain itu, dalam pekerjaan saya sekarang, saya selalu diminta proaktif melakukan sesuatu. Apabila ada masalah, daripada ngedumel terus, kita harus aktif mencari cara menyelesaikannya.
Sehingga dalam kasus lama tak bersilaturahmi ini, ya saya mengambil sikap proaktif menyambung silaturahmi duluan. Wong jangan-jangan juga, dia tidak hadir di banyak acara karena para partisipan aktif lupa mengajaknya. Jadi justru saya kan yang harus mengambil inisiatif action.
Kalau semuanya saling menunggu siapa lebih dulu, bisa-bisa sampai tua nanti, silaturahmi tidak akan pernah terjadi. Seperti iklan layanan masyarakat baru-baru ini soal revolusi mental: jangan cuma mengeluh, lakukan suatu tindakan nyata.
Epilog
Maka begitulah, saya meminta maaf pada si B karena tidak bisa hadir. Saya hadir ke acara si A dan senang akhirnya bisa bertemu. Tak lupa saya menitipkan pesan pada si A supaya sering-sering kelihatan dan ikut ngumpul. Si B tidak ngambek dan tetap senang, toh kami masih akan sering bertemu. Si A pun merasa senang karena ternyata masih banyak teman yang mengingatnya.
Maka saya senang karena B masih menjadi karib saya, kemudian lega karena si A baik-baik saja keadaannya. Jadi, semuanya senang dan membaik keadaannya.