Kita sering mendengar petuah orang: “Kalau beli barang itu sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan.” Hal tersebut sangat benar. Apalagi kalau sedang dibutuhkan tapi ternyata kita tidak/belum mampu (secara finansial) untuk mendapatkannya.
Hanya saja setelah saya merenung setengah jam menjelang tahun baru semalam, sebenarnya keinginan bisa menjadi hal yang positif, meski kita tidak butuh atau tidak/belum mampu. Contohnya? Seperti keinginan saya di 2016 ini.
Salah satu yang ingin saya raih di 2016 ini adalah 1 (satu) cabang baru restoran saya. Kalau dipikir-pikir, apa saya butuh? Jawabannya: tidak. Dua cabang yang sekarang plus pekerjaan tetap saya sudah cukup.
Belum lagi, saya (bersama partner saya lainnya) belum mampu untuk membuka cabang ketiga itu. Untuk cabang kedua saja, kami masih butuh setahun lebih ke depan untuk break even point (BEP) dan melunasi investor. Uang dari mana coba untuk memenuhi keinginan yang tidak dibutuhkan tadi.
Apakah keinginan yang tidak dibutuhkan dan belum berkemampuan tadi jelek? Bagi orang pesimis, mungkin iya: menyebabkan banyak pikiran, menambah kewajiban melunasi bagi hasil, serta kerumitan mengelola.
Harus Optimis
Bagi orang optimis? Cabang baru tadi bisa semakin menambah pendapatan saya yang (mungkin) berujung menambah derma saya, membuka lapangan kerja, melengkapi portofolio, meningkatkan kepuasan dan kebahagian, dsb.
Kemudian bagaimana bisa mencapai keinginan tadi kemudian? Pengalaman saya menjadi perantau sejak SMA menunjukkan bahwa akan selalu ada jalan untuk menggapai keinginan.
Jadi sebenarnya premis di paragraf pertama kalau kita harus mendahulukan kebutuhan dibanding keinginan dan kemampuan dibanding kebutuhan adalah tidak benar. Kita tidak harus membingkai keinginan secara negatif, kita harus yakin bahwa kita akan selalu dimampukan untuk memenuhi keinginan meskipun itu bukan kebutuhan kita.
Selamat Tahun Baru 2016. Selamat menggapai keinginan Anda semua…!!!