Semuanya dimulai pada pertengahan Januari 2014 ketika seorang teman, YOA, memberikan informasi adanya tiket promo Cathay Pacific. Ketika saya membuka website perusahaan penerbangan asal Hong Kong tersebut, harga yang tertera sangat mencengangkan. Hanya 111 dolar AS untuk perjalanan PP Jakarta-New York di bulan September dan Oktober! Setelah ditambah pajak ini itu, total yang harus dibayar sebesar 461 dolar AS. Sungguh harga yang sangat murah meski kurs Rupiah terhadap dolar saat itu sudah menembus 11 ribu. Bahkan tiket PP Jakarta-New York termurah biasanya biasanya berkisar antara 12-15 juta. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung membelinya untuk pertengahan Oktober secara online.
Saya sedari awal tidak berharap ada teman lain yang berminat. Karena meski “hanya” 5 jutaan, angka itu masih cukup mahal bagi beberapa orang. Selain itu, waktu terbang di bulan Oktober membuat banyak teman ragu-ragu apakah bisa mengambil cuti atau tidak. Saya memutuskan melakukan 8 hari 7 malam liburan atau 10 hari apabila ditambah dengan perjalanan udara.
Tidak sampai tiga hari kemudian, harga tiket kembali normal menjadi 1.110 dolar AS karena ternyata pihak Cathay lupa memasukkan angka nol untuk harga bulan itu. Sungguh saya sangat beruntung, bukan?! Seorang teman gagal membeli tiket promo / salah harga tadi karena menunggu konfirmasi temannya, apakah jadi ikut atau tidak. Di pagi hari masih 111, namun selepas makan siang sudah berubah menjadi 1.110.
Memilih Kota yang Dikunjungi
Saya sudah pasti mendarat di New York, tapi kota mana saya yang ingin dikunjungi menjadi pertanyaan saya berikutnya. Apakah hanya East Coast atau juga West Coast. Saya akhirnya memutuskan hanya East Coast dengan pertimbangan waktu cuti yang singkat, biaya perjalanan yang terbatas, serta kemampuan badan untuk terus jalan kaki –di Amerika tidak mungkin ke sana kemari menyetir mobil– selama 8 hari.
Setelah memutuskan East Coast, saya kemudian memutuskan mengambil Washington, Philadelphia, dan New York serta meninggalkan area Boston. Hal ini karena selain tiga kota tidak terlalu jauh, Boston juga tidak terlalu banyak lokasi wisata kecuali ingin melihat kampus-kampus ternama. Jiwa saya sebagai seorang alumni Sospol pun masih tergerak untuk melihat pusat pemerintahan Amerika dan kota tempat ia memproklamasikan kemerdekaan. Adapun New York, semua orang juga kepingin mengitari kota paling terkenal seantero jagat ini.
AirBnB yang Sedang Tren
Amerika Serikat (Amerika), satu negara di mana saya hampir tidak memiliki teman akrab yang sedang bersekolah atau bekerja di sana. Bahkan tidak ada teman akrab sama sekali di tiga kota yang ingin saya kunjungi –New York, Washington, dan Philadelphia. Ada beberapa teman, namun tidak akrab, dan pada minggu saya melakukan perjalanan, mereka ternyata memiliki kesibukan lain. Maka jadilah saya harus melakukan booking hotel dan Amerika adalah negara dengan harga hotel yang mahal, bahkan untuk tipe hostel sekalipun. Saya tidak terlalu melirik hostel karena tipe hostel di Amerika adalah asrama dengan 8 – 10 tempat tidur per kamarnya, sungguh sangat ramai dan harus banyak berbasa-basi.
Untungnya saya kemudian menemukan AirBnB, platform yang menyediakan layanan penyewaan kamar di rumah atau apartemen pribadi si pemilik properti. Gampangnya, kalau saya punya apartemen 2 kamar dan hanya memakai 1 kamar, maka 1 kamar itu saya sewakan untuk turis. Dari segi harga, 1 kamar untuk dipakai sendiri, sama dengan 1 tempat tidur di sebuah hostel. Tapi dari sisi kualitas, tidak kalah dengan, setidaknya, hotel bintang 2 atau 3. Namun karena masa liburan saya masih 9 bulan kemudian, tidak satupun dari pemilik properti yang mau menerima pesanan kamar. Mereka semua menyarankan untuk melakukan booking 1 – 2 bulan sebelum masa liburan.
Maka jadilah saya harus memutar kepala bagaimana setidaknya sudah mendapatkan booking-an kamar sebagai tempat tinggal di Amerika untuk pengurusan visa. Saya berencana mengurus visa 4 bulan sebelum berangkat –sesuai dengan saran teman yang sering menguruskan visa klien. Meski situs Kedutaan Amerika menyatakan tidak perlu tiket pesawat dan hotel untuk pengajuan visa; tanpa kepastian dua hal itu, mana mungkin pihak Kedutaan yakin saya ke sana hanya untuk berlibur dan bukan menjadi pekerja gelap.
Akomodasi Sementara (untuk Pengurusan Visa) via Agoda
Akhirnya saya memutuskan booking hotel di Agoda yang bisa melakukan pesanan sampai 1 tahun ke depan. Saya memilih hotel apapun yang bisa di-booked tanpa bayar sama sekali dan tanpa denda kalau dibatalkan sebelum waktu tertentu. Jadilah saya sekarang sudah melakukan pesanan untuk tinggal di 3 kota di Amerika. Hotel-hotel ini kemudian saya batalkan pemesanannya setelah visa Amerika saya keluar.
Beberapa bulan berlalu dan saya kembali ke AirBnb. Saya akhirnya melakukan pemesanan kamar di Washington, Philadephia, dan New York. Kriteria yang saya pilih pertama kali adalah harus dekat dengan stasiun kereta karena saya tidak mau membawa tas berat dengan berjalan jauh. Taksi, tentu saja bukan menjadi pilihan bagi saya yang mau menghemat biaya perjalanan.
Kriteria kedua adalah lokasi itu harus dekat dengan lokasi berhenti bus luar kota yang saya gunakan. Hal ini karena saya akan selalu tiba di malam hari menggunakan bus dari kota ke kota dan saya tidak mau mengalami kejadian tak terduga di malam hari apabila harus berjalan jauh. Amerika memang negara maju, namun tingkat kriminalitas di sana pun tinggi.
Kriteria ketiga yang saya pilih adalah kamar yang disewakan harus setidaknya memiliki review 4 bintang dari 5 karena tentu pemilik maupun kamar yang ada berarti sangat direkomendasikan. Untuk menyakinkan pemilik, saya pun selengkap mungkin menulis profil saya, termasuk menuliskan link LinkedIn dan menyediakan data offline paspor saya ke AirBnB. Hal ini dibutuhkan karena pemilik bisa menolak pesanan apabila mereka merasa calon penyewa tidak jelas asal-usulnya dan berpotensi menimbulkan kerugian. Jadi akhirnya 2 malam di Washington, 1 malam di Philadelphia, 3 malam di New York.
Persiapan Mengurus Visa
Bulan Juni, empat bulan sebelum keberangkatan, saatnya saya mengurus visa Amerika. Kata orang, ini visa paling susah didapat dari semua negara. Tapi kata HRD kantor, bagi orang Ogilvy, visa Amerika itu paling gampang. Ya sudahlah, toh kan harus diurus sendiri, ya mari dijalani saja apapun kata orang. Mencari info ke sana ke mari, saya melihat yang paling valid infonya tentu saja ada di website Kedubes Amerika. Misalnya tidak terlalu jago berbahasa Inggris, website Kedubes Amerika menyediakan informasi dalam Bahasa Indonesia.
Sebelum bisa mengisi form, harus bayar terlebih dahulu, bisa di Bank Permata atau Standard Chartered. Kata orang, lebih baik di Standard Chartered karena akan lebih cepat bisa diproses. Maka pergilah saya ke Standard Chartered pusat di Menara Standard Chartered – Karet, sebelah Sampoerna Strategic di Jalan Jenderal Sudirman. Harga visa untuk tujuan bisnis/liburan “hanya” 160 dolar. Tapi karena kurs Rupiah di bulan Juni 2014 ini mencapai 12 ribu, maka jadilah saya membayar hampir 2 juta Rupiah.
Mengisi Aplikasi & Memilih Jadwal Wawancara
Dan kemudian, begitulah saya mendaftar online. Pilih mau kapan jam berapa wawancara visa, kemudian isi form beberapa halaman, save dan log-out beberapa kali. Sebenarnya kalau semua data dan foto siap, itu form dalam 1 jam pasti sudah selesai diisi. Untuk foto, tidak perlu khawatir salah karena website Kedubes Amerika sudah canggih. Masukkan saja foto format apapun, nanti website akan menyediakan lingkar kepala dan lingkar rambut. Kita tinggal menggeser-geser fotonya sampai pas ke batas lingkar itu.
Untuk form, standar isinya: identitas, tujuan, itinerary. Yang agak ribet mungkin riwayat pendidikan harus dituliskan mulai dari kita SD atau setidaknya SMP sampai pendidikan terkini. Itinerary pun harus jelas: menginap di mana aja, ke mana saja, tanggal berapa sampai berapa. Plus juga perlu yang pelru ditulis: daftar semua negara yang pernah dikunjungi. Kemudian memilih, apabila paspor dan visa disetujui, apakah akan diambil atau diantar. Saya memilih untuk diantar ke alamat kantor karena kalau harus mengambilnya di area Kuningan –mengambilnya bukan di Kedutaan, tetapi di kurir yang ditunjuk, wah macetnya Jakarta itu tidak tertahankan.
Untuk kapan dan jam berapa mau wawancara visa, semua bisa dipilih, tergantung pada masing-masing orang. Saya –tidak bermaksud sombong, berhubung pekerjaan saya membuat saya harus selalu menebak timing yang tepat– memilih Selasa pagi. Kenapa hari Selasa: jangan pernah memilih hari Senin karena menjadi hari pertama awal minggu dan pasti akan penuh; kalau ternyata di hari Selasa tadi masih ada berkasyang perlu dilengkapi, masih ada banyak hari lain di minggu itu; persetujuan visa membutuhkan waktu sekitar 3 hari (termasuk pengiriman) sehingga jika mengurus Selasa, di minggu yang sama alias Jumat, sudah bisa menerima paspor dan visanya.
Kemudian saya memilih di pagi hari, meski itu berarti pukul 06.30 harus siap di depan Kedubes. Lebih baik bangun lebih pagi daripada daripada siang hari merasakan panasnya Jakarta.
Hari-H Mengurus Visa
Maka tibalah saya di depan Kedubes Amerika. Rangkuman singkat, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus visa dari awal sampai akhir mencapai 3 jam, namun proses pengurusan sebenarnya hanya 15 menit. Sisanya? Menunggu giliran dipanggil.
Pukul 06.30 saya tiba dan ternyata sudah ada sekitar 30 orang di antrean. Pukul 07.00, pintu keamanan mulai dibuka dan per 10 orang, dipersilakan masuk. Di ruang pemeriksaan ini, pemeriksaannya standarseperti ketika kita memasuki gedung perkantoran Jakarta. Hanya saja, HP dan alat selular lain harus ditinggal.
Selesai di ruang pemeriksaan, semua aplikan masuk ke buffer room tapi bukan di dalam ruangan melainkan seperti di kantin –Kedubes Amerika sedang direnovasi saat itu. Ada orang Indonesia yang akan mengarahkan, memeriksa kelengkapan dokumena aplikan, dan mempersilakan mengambil nomor antrean. Ingat, dokumen yang dibawa dan dicek di area ini cukup paspor, bukti bayar visa, surat konfirmasi jadwal wawancara, dan foto 3×4. Nah ketika sudah mengambil nomor antrean, maka menunggulah kita dipanggil.
Antrean Wawancara
Saat nomor dipanggil oleh petugas loket, ternyata saya di tahapan ini belum diwawancarai seperti saya perkirakan sebelumnya. Di loket ini, semua petugas adalah orang Indonesia dan hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen, memastikan semuanya sesuai, serta memberikan kartu antrean untuk proses sidik jari dan wawancara di ruangan dalam. Aplikan akan diberi kartu grup oleh para petugas loket ini. Terdapat grup 1 s.d. 10 yang nanti di dalam ruangang berikutnya akan menjadi tanda giliran untuk proses pengambilan sidik jari dan wawancara.
Di ruang dalam, aplikan kembali menunggu dan dipanggil untuk sidik jari. Setelah semua grup dipanggil untuk sidik jari, pukul 08.30, loket wawancara dibuka dan kali ini yang berdiri di dalamnya adalah warga Negara asing pegawai kedutaan. Terdapat 4 loket yang dibuka pagi itu alias semua loket dibuka. Berhubung saya berada di grup 10 dan duduk menunggu di dekat loket, maka saya sempat mencuri dengar pertanyaan yang diajukan kepada grup 1 s.d. 6.
Pertanyaan Random
Pertanyaannya sangat beragam, tiap orang berbeda. Ada aplikan yang ditanya mau ikut seminar apa, ada yang berapa keluarga dibawa, bahkan ada juga yang justru ditanya tentang struktur perusahaan tempat bekerja. Beberapa disetujui (mendapat kertas putih), pending approval (kuning), harus melengkapi berkas (hijau), dan ditolak (merah).
Para aplikan yang ditolak tadi, tiga di antaranya –saya perkirakan tentu– karena: ketahuan pernah masuk Amerika sebagai turis tapi justru mengambil studi pada saat kunjungan dia, tidak bisa menjelaskan pekerjaan dan status pernikahan keluarga yang akan ditebengi menginap, serta (yang ini sudah 2 kali gagal) tidak bisa menjelaskan kenapa perusahaan memberikan hadiah tahun baru berupa tiket perjalanan ke Amerika.
Ketika grup saya dipanggil, saya berada di nomor 2 antrean. Ketika sudah berdiri di depan loket, saya hanya ditanya mau ke mana (kota apa), tujuannya apa (liburan), berapa lama, pegang klien apa saja. Tidak lebih dari 3 menit dan saya mendapat kertas putih yang artinya visa disetujui dan akan dikirim dalam waktu 3 hari.
Hmmm….. yang saya sesali dari proses ini adalah saya sudah terlanjur membeli asuransi perjalanan senilai 400 ribuan Rupiah dan ternyata tidak dilihat sama sekali. Tapi tentu saya berpikir positif saja, asuransi perjalanan tetap perlu dimiliki seandainya ada sesuatu hal yang tidak diinginkan selama perjalanan. Ternyata di hari Kamis, hanya dua hari setelah wawancara, paspor dengan visa Amerika di dalamnya sudah sampai di kantor. Multiple entry selama 5 tahun; yang mana kata orang, saat ini susah didapatkan; mayoritas saat ini hanya mendapatkan multiple entry 1 tahun.
Mempersiapkan Perjalanan Antarkota
Sudah selesai tiket pesawat, hotel, dan visa; maka tersisa perjalanan antarkota. Seperti saya tulis di awal, saya memilih menggunakan bus untuk perjalanan antarkota. Saya langsung mencoret pilihan menggunakan kereta Amtrak karena harganya yang cukup mahal. Dengan bus, harga hanya setengahnya. Namun ketika saya membuka website Megabus, ternyata harga tiket hanya 1 dolar. Tidak perlu berpikir lama, saya langsung membelinya, plus pajak dan biaya pesan, harga tiket hanya 2.5 dolar. Jauh berbeda dari harga normal 15 dolar, maupun tiket Amtrak termurah 35 dolar.
Semua persiapan perjalanan pun sudah selesai di bulan Juli 2014. Maka, saya pun bisa dengan tenang menunggu 3 bulan lagi untuk berangkat ke negeri Paman Sam dan menikmati east coast Amerika.
3 thoughts on “Uncle Sam, I’m Coming (Part 1 – Preparation)”