Setelah menunggu tiga bulan sejak semua dokumen lengkap hingga keberangkatan, akhirnya Jumat, 10 Oktober saya berangkat menuju Soekarno-Hatta untuk terbang menuju New York melalui transit di Hongkong. Perjalanan Jakarta-Hongkong memakan waktu 5 (lima) jam kemudian transit selama 4 (empat) jam dan kemudian perjalanan non-stop Hongkong-New York selama 15 jam.
Cathay Pacific & HKIA
Saya sengaja melakukan online check-in sebelumnya supaya bisa memilih nomor di bagian belakang, terlebih untuk penerbangan Hongkong-New York yang super panjang itu. Saya memilih nomor 70H dan sesuai tebakan, kursi 70J dan 70K kosong sehingga saya bisa tidur meluruskan kaki. Sebenarnya agak dilema saat harus online check-inkarena apabila saya memilih konter check-in, maka saya memiliki kesempatan untuk meminta upgrade gratis ke kelas bisnis. Namun apabila melakukan konter check-in dan tidak mendapat upgrade, maka bisa saja kita mendapat kursi ekonomi dan duduk di tengah, terjepit kursi jendela dan kursi lorong.
Rangkuman singkat perjalanan menggunakan Cathay Pacific: maskapai ini tipikal maskapai asing yang bonafid dengan pelayanan ramah, banyak makanan, serta ratusan pilihan inflight entertainment.
Menggunakan Cathay, berarti saya pasti transit di Hongkong International Airport (HKIA). Ini berarti untuk ketiga kalinya saya memasuki HKIA dan merasakan cita rasa bandara ketiga terbaik di dunia (setelah Changi dan Incheon): besar, luas, dan bersih dengan ribuan tenant menyambut pelancong. Sebagai informasi, HKIA merupakan sebuah bandara dengan semua terminalnya terintegrasi serta memiliki gate penerbangan dari 1 s.d. 80 dan gate 501 s.d. 530. Luar biasa besarnya! Soekarno-Hatta International Airport di Jakarta saja hanya memiliki tiga terminal dengan tiga gate di tiap terminal.
Tiba di Negeri Paman Sam
Setelah perjalanan total selama 24 jam, akhirnya tibalah saya di Terminal 7 Bandara John F Kennedy (JFK) New York pukul 1 siang. Sebagai informasi, JFK memiliki 8 terminal namun hanya 6 yang digunakan. Terminal 7 ini tidak lebih bagus dari Bandara Halim Perdanakusuma: kecil, tidak banyak toko, dan berplafon atas rendah. Menurut ulasan di dunia maya, Terminal 7 ini adalah terminal kedua terburuk di JFK. Namun berbicara dengan beberapa orang yang sering terbang bolak-balik ke Amerika, orang Amerika justru sangat senang dengan terminal ini karena jarak yang sangat pendek antara gerbang kedatangan dengan tempat menunggu taksi, bus, dan kereta sehingga tidak menghabiskan waktu dan tenaga mereka.
Namun layaknya bandara kelas internasonal, Terminal 7 sudah menggunakan garbarata untuk semua pesawat. Tidak ada cerita harus berjalan di antara pesawat-pesawat atau berhimpitan naik bus dan naik-turun tangga seperti di bandara-bandara Indonesia.
Hello, Uncle Sam!
Kembali ke ketibaan saya di New York. Kota tujuan pertama saya sebenarnya adalah Washington DC dan saya harus naik bus pukul 4.30 sore dari tengah kota New York. Rencana saya naik AirTrain (kereta khusus bandara) berantakan karena ternyata AirTrain sedang tidak beroperasi. Akhirnya saya memutuskan naik bus karena ternyata bus ini berhenti di 34th Street – Penn Station alias tempat saya (hanya perlu jalan 2 blok) akan naik bus menuju Washington.
Proses imigrasi dan pengambilan bagasi hanya memakan waktu total satu jam sehingga pukul 2 siang saya sudah meninggalkan bandara. Namun New York terkenal dengan macetnya dan ditambah dengan JFK yang terletak jauh sekali dari pusat kota, pukul 3.30 saya baru tiba di Penn Station. Menurunkan bagasi, membuka peta, mengaktifkan Google Maps, kemudian berjalan kaki, saya tiba di 34th St between 11th Ave and 12th Ave yang merupakan lokasi pemberangkatan Megabus.
Washington DC dengan Jalur Darat
Berhubung saya tiba di Sabtu sore, bus pun terisi penuh –menurut tebakan saya. Tampaknya banyak orang yang bekerja di New York kemudian menghabiskan akhir minggu di luar kota. Transit di Delaware sejenak, saya tiba di Union Station – Washington pukul 9.30 malam, terlambat satu jam dari yang seharusnya. Namun Megabus sangat nyaman serta terdapat colokan listrik dan wi-fi untuk memastikan penumpang tidak terputus dengan internet.
Dari Union Station, saya mengambil kereta menuju Eastern Market Station untuk (menurut peta) kemudian berjalan 5 menit menuju lokasi menginap. Sempat salah turun stasiun, akhirnya saya tiba di Eastern Market Station pukul 10 malam kemudian berjalan 5 menit, kebingungan mencari rumah karena sudah malam dan baru pertama kalinya ke Washington, saya tiba di penginapan pukul 10.20 malam. Pemilik rumah menyambut saya dan langsung mempersilakan saya beristirahat. Maka malam itu, saya langsung membasuh badan dan tidur untuk bersiap berwisata esok hari.
Kondisi penginapan saya? Jauh lebih bagus daripada yang di-posting si pemilik di AirBnB.
Washington DC
Hari pertama di Washington, saya mengawali jalan-jalan pukul 07.30. Di Washington saat itu, pukul 07.30 di hari Sabtu, suasana sangat sepi dan lumayan menggigil. Namun saya hanya dua hari di Washington, maka saya harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mulailah saya membuka daftar tempat yang harus dikunjungi.
Membuka Google Maps, saya baru tersadar ternyata penginapan saya ini berada di daerah DC Historical District yang hanya 20 menit jalan kaki dari/ke Union Station (tapi tentu tidak dengan koper besar) dan 10 menit jalan kaki ke atraksi utama Washington: The Capitol. Bahkan saya bisa melihat The Capitol dari depan rumah…!!!
Belakangan saya baru tahu rumah ini adalah milik (alm) Dubes Foley, mantan duta besar AS untuk Jepang yang juga pernah menjadi Ketua DPR AS. Saat ini, rumah tersebut ditinggali oleh istrinya yang meski sudah berumur, masih saja gesit –saya ketahui kemudian kalau beliau adalah seorang pengacara.
Pusat Pemerintahan Amrik
Kembali ke perjalanan hari pertama, hari itu saya menyusuri Library of Congress, the Mall, Obelisk, berbelok sebentar ke Gedung Putih, kemudian kembali ke track Monumen Perang Dunia II, menuju Lincoln Memorial, dan selanjutnya mengunjungi beberapa museum. Kenapa saya memilih jalur ini, maka silakan googling saja “3 days in Washington”. Banyak artikel dan saran bermunculan dan saya mengambil salah satunya.
Di hari kedua, saya mengunjungi semua museum yang ada di Washington. Ketika itu, beberapa jalan di Washington ditutup untuk kegiatan marathon. Sungguh ramai dan meriah, semua orang keluar rumah, menonton, dan memberi semangat.
Baru di hari ketiga, saya memilih untuk mengikuti tur The Capitol dan mengunjungi Library of Congress. Tur berkeliling the Capitol harus dipesan paling lambat sehari sebelumnya dan saya lupa memesannya..!! Untungnya Oktober bukan puncak liburan sehingga ketika hari-H saya mengantre di pagi hari, saya masih bisa mendapatkan tiket masuk. Library of Congress juga ternyata tidak bisa sembarangan dimasuki turis, terutama untuk ruang baca utama. Hari saya mengunjungi itu adalah 1 dari hanya 2 hari sepanjang tahun dibukanya ruang baca utama.
Sore hari di hari ketiga ini, saya langsung menuju Union Station untuk ke Philadelphia. Union Station sendiri adalah bangunan bersejarah yang sangat megah. Eternit Union Station bahkan dilapisi dengan emas 24 karat. Saya membayangkan seandainya ada stasiun seperti ini di Indonesia.
Philadelphia
Tiba di Philadelphia malam hari, saya langsung menuju penginapan yang ternyata ada di kompleks Drexel University. Untuk wilayah Philadelphia, universitas ini tidak begitu terkenal di Indonesia. Masyarakat kita mungkin lebih mengenal University of Pennsylvania (UPenn). Namun ternyata, Drexel adalah universitas dengan program co-op terbaik di Amerika. Program ini menempatkan mahasiswa akhir untuk magang/bekerja selama waktu tertentu sehingga ketika lulus, bisa langsung melanjutkan sebagai pegawai ataupun siap bekerja dengan keahlian yang diinginkan industri.
Hari kedua di Philadelphia, saya pagi-pagi segera menuju ke kompleks Independence Hall karena memang tiket yang tersedia terbatas –saya mendapatkan informasi ini dari website resmi– dan di sore hari saya harus bergerak ke New York.
Cikal Bakal Kemerdekaan
Saat antre tiket Indepence Hall, saya trenyuh dengan percakapan bersama seorang pemandu wisata sekelompok anak SMA yang sudah 30 tahun berada di pekerjaannya itu. Dalam setahun, pemandu wisata ini rata-rata melakukan perjalanan dua kali ke Eropa, Cina, Jepang, Australia; kemudian satu kali setahun ke Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika. Dari 30 tahun itu, dia baru sekali datang ke Indonesia, tepatnya untuk mengunjungi Bali. Tapi ternyata ia pergi ke Bali untuk urusan pribadi, bukan destinasi salah satu rombongan anak SMA yang ia antarkan. Sedih mendengar Indonesia tidak diinginkan atau bahkan tidak diinginkan untuk dikenal oleh anak muda Amerika.
Kembali ke perjalanan saya di Philadelphia; dari Independence Hall, saya bergerak sedikit ke Liberty Bell yang masih ada di kompleks taman, kemudian menyusuri Balaikota dan Plasa JFK. Bangunan Balaikota membuat saya berdecak kagum. Ada patung William Penn sebagai pendiri kota di ujung atas bangunan. Bangunan tua Balaikota Philadelphia sendiri menjulang menyamai gedung-gedung pencakar langit modern lain.
Beranjak dari wilayah Balaikota, saya menyempatkan diri ke UPenn dan Drexel yang seluruh kompleksnya disebut University City. Di “kota” ini, bangunan universitas, asrama mahasiswa, rumah yang disewakan, taman, dan penunjang belajar lainnya bertempat dan ditata dengan suasana yang sangat pro-belajar. Baru kemudian di sore hari, saya menuju 34th Station untuk menunggu bus ke New York. Lagi-lagi, bagunan stasiun tua ini luar biasa megah, sama terawatnya dengan Union Station.
New York
Tiba di New York malam hari, saya memerlukan waktu 40 menit menggunakan kereta dari pemberhentian bus hingga sampai di stasiun dekat penginapan (Rockaway Avenue). Namun saya tidak perlu berganti jalur sehingga tidak merepotkan saya yang membawa koper dan 2 tas. Keluar dari stasiun Rockaway Ave, saya dengan koper besar yang dibawa, hanya perlu berjalan 2 menit untuk mencapai penginapan. Setelahnya, seperti malam ketibaan di kota lain, saya langsung beristirahat.
Kemudian apa saja yang saya kunjungi di New York? Sama seperti sebelumnya, saya googling “3 days in New York” dan saya menggunakan patokan itinerary dari salah satunya. Yang pasti, spot terkenal seperti Patung Liberty dan Times Square, termasuk di dalamnya.
Menyusuri New York, yang menarik bisa saya katakan adalah New York merupakan sebuah kota yang sangat amburadul, setara dengan Jakarta. New York beruntung memiliki tata kota kotak-kotak dan kereta / subway yang menjangkau semua tempat. Sisanya, layaknya kota besar lain: kemacetan terjadi di mana-mana, aspal jalan pun ditambal di sana-sini, tidak halus seperti Washington atau Philadelphia. Belum lagi soal menyeberang jalan; apabila di Washington dan Philadelphia, semua orang yang menyeberang taat lampu berhenti ataupun diperbolehkan jalan; di New York, orang akan mencuri-curi kesempatan menyeberang apabila jalanan sepi.
Ada satu peraturan menarik di dalam kereta New York “dilarang mendengarkan video atau musik tanpa menggunakan headset”. Bagi saya orang Indonesia, mendengarkan musik di bus atau KRL tentu pasti akan menggunakan headset. Tapi ternyata di New York sana –tidak bermaksud rasis, para warga kulit hitam terbiasa mendengarkan musik dengan menggunakan speaker dan menyetelnya keras-keras.
Bye, Uncle Sam!
Di hari keempat di New York, pagi-pagi pukul 06.00, saya meninggalkan penginapan menggunakan kereta menuju Bandara JFK. Salah satu alasan mengapa saya memilih penginapan di Hull Street ini adalah saya tidak perlu berganti jalur untuk menuju stasiun khusus KA Bandara (AirTrain) sehingga satu koper dan dua tas tidak merepotkan saya.
Sampai di JFK, waktu masih menunjukkan pukul 07.00 kurang dan ternyata saya harus menunggu hingga 07.30 untuk bisa check-in. Setelah check-in, saya pun menyempatkan diri mengelilingi 5 terminal lainnya di JFK. Ternyata beberapa terminal sangat bagus desainnya. Setelah baca sana-sini, tiap terminal ternyata bisa dikelola oleh konsorsium maskapai yang menggunakan terminal tersebut. Maskapai yang tidak ingin mengelola, mendapatkan terminal seadanya yang dikelola oleh Port Authority. Terminal terbaik menurut saya adalah Terminal 1 yang dikelola oleh JAL, Korean Air, dan Lufthansa.
Dan akhirnya pukul 09.35, saya memasuki pesawat untuk berangkat pukul 10.00. Perjalanan pulang saya, tidak jauh berbeda dengan perjalanan berangkat, di kursi yang sama, 70H. Yang menurut saya menarik adalah justru rute perjalanan. Saat berangkat dari Hongkong, pesawat melewati Jepang – Samudera Pasifik – Amerika Serikat. Namun saat perjalanan pulang dari New York, pesawat mengembil rute ke atas melewati Kanada – Greenland – Kutub Utara – Rusia – Tiongkok.
Imajinasi & Pengalaman
Sepertinya cukup sekian cerita dari saya. Pasti Anda semua bertanya-tanya kenapa saya tidak menceritakan secara detail pengalaman saya. Jawabnya adalah karena saya ingin Anda merasakan sendiri pengalaman itu, tidak hanya membayangkannya.
Seperti kenapa saya juga sangat jarang meng-upload foto bepergian; karena saya ingin orang datang dan merasakan sendiri pengalaman itu. Ataupun kalau saya harus bercerita, supaya pendengar bisa memiliki imajinasi yang luar biasa. Jadi karena saya ingin pembaca senang, maka saya membiarkan pembaca berimajinasi.
Sekedar tambahan, beragam oleh-oleh “made in US” di Philadelphia hanya tersedia di Independence Park. Sedangkan di New York, barang-barang “made in US” hanya dijual di Liberty Island.
Apabila ingin membeli kaos bertuliskan “licensed by US” (meski diproduksi di Honduras atau Bangladesh) atau gantungan kunci yang di-emboss “made in NY”, maka barang-barang itu ada di sebuah toko di seputaran Times Square arah ke 42nd Station. Sayangnya saya lupa nama toko tersebut. Di luar tiga tempat itu, yang saya tahu, semuanya bertulis “made in China” yang tentu saja membuat oleh-oleh kita “diragukan” asalnya.
Update
Saya tambahkan lebih detail cerita jalan-jalan saya: https://alussak.id/2016/04/jalan-jalan-di-east-coast-amerika/
3 thoughts on “Uncle Sam, I’m Coming (Part 2 – It’s the Time)”